Labels

daniera (118) kanazawa (7) nada (92) pengetahuan umum (6) profesi guru (1) puisi (16) skripsi (1)

Senin, 11 Agustus 2014

Langitnya Gelap, Ri

Mendung.
Pertama melintas taman itu mendung.
Langit cerah tertutup awan gelap, Ri.
Tak lama kemudian, hujan turun.
Turunnya deras sekali, Ri.
Di sana banyak kulihat.
Ada kepasrahan atas apa-apa yang menjadi basah.
Ah, bahkan tanah-tanah pun menjadi becek.
Ada ketakutan dari setiap petir yang menggelegar.
Ada kesejukan dari tetesan yang tersentuh kulit.
Ah, tapi kemudian sejuk itu berubah menjadi dingin.

Cukup lama hujan turun dengan derasnya, Ri.
Cukup lama juga aku menyaksikan berbagai pemandangan.
Kepasrahan, ketakutan, dan kesejukan.

Pada akhirnya hujan berhenti, Ri.
Ya, hujannya berhenti.
Tapi yang berubah hanya pemandangan bulir-bulir air dari langit.
Tak ada lagi yang berjatuhan.
Aneh, Ri.
Mendungnya masih ada.
Bahkan kurasa lebih pekat dari sebelum hujan turun.

Sekarang, langitnya malah gelap.
Ya, sekarang langitnya gelap, Ri.
Ah, tidak, maksudku belum terlalu gelap, Ri.
Baru mulai gelap.

Eh? Tapi kemudian aku lihat bias sinar matahari, Ri.
Matahari yang tenggelam.
Semburat merah tiba-tiba saja menjadi pemandangan.
Di ujung langit yang masih dapat kulihat.
Di batas senja yang sebentar lagi benar-benar gelap.
Ah, sungguh syahdu pemandangan ini, Ri.
Aku suka sekali.
Ternyata aku suka, Ri.
Aku berharap tak berlalu.
Tapi itu tidak mungkin, Ri.
Semburat merah nan indah itu hanya sebentar saja di batas senja.
Karena sekarang langitnya gelap, Ri.