Labels

daniera (118) kanazawa (7) nada (92) pengetahuan umum (6) profesi guru (1) puisi (16) skripsi (1)

Rabu, 30 November 2011

Hujan Deras, Panas Mentari, dan Rangginang

"Rabb-ku yang maha baik, berikanlah panas mentari seusai hujan ini, jangan biarkan 500 ranginang mamaku gagal produksi. Amin."

Hari itu, pagi yang mendung. Namun, mamaku dengan semangatnya, mengatakan "nanti akan panas". Ya, aku berharap yang sama tentunya. Pasalnya, mamaku telah selesai membentuk ratusan bulatan ranginang. Dalam 10 tampah siap dijemur. Tak terbayang olehku, bagaimana jadinya jika tak ada panas mentari hari itu.

Namun, alam berkehendak lain. Mendung itu berkelanjutan hujan deras. Ya, sangat deras malah. Aku merasa agak menggigil saat itu. Tapi, aku tentu tidak membiarkan mama memindahkan kesepuluh tampah itu sendirian diiringi derai hujan yang amat derasnya. 

Sudah seminggu yang lalu, mama meminta izin agar hari itu, ia dapat mengikuti kegiatan pengajian kompleks. Mama bercerita dengan antusiasnya. Tak mungkin aku melarangnya. Saat itu di rumah memang hanya ada aku dan mama. Sekitar pukul 10, mama dijemput temannya. Mama hanya berpesan, "hati-hati di rumah, dan jika hujannya berhenti, tampahnya dikeluarkan lagi." Aku menjawabnya dengan senyum pasti. 

Ya, yang aku lakukan saat sendiri itu adalah berdoa. Berdoa agar Rabb ku berkenan memberikan panas mentari seusai hujan deras ini. Tak mungkin kumeminta untuk menghentikan hujan itu, karena hujan adalah bentuk rahmat-Nya. Tapi aku juga amat mencintai mama. Tak mungkin aku biarkan peluhnya tersia karena ranginangnya yang gagal produksi.

Dan aku rasa Rabb ku yang maha pemurah itu, telah mengabulkan doaku. Sekitar pukul 11 panas mentari mulai menyinari, dan derasnya hujan berganti rintikan kecil yang sebentar lagi akan tiada. Aku bersiap. Kurapikan bangku-bangku untuk menyusunnya di halaman rumah. Kususun semua tampah itu dengan sedemikian rupa dengan harapan semuanya mendapatkan sinar mentari yang cukup. Hhhh... Sedikit lega  perasaanku. Aku kembali ke kamarku di lantai atas. Aku kembali menekuni pekerjaanku yang belum terselesaikan. Terduduk di depan laptop selama satu jam, aku terkaget ketika mendengar suara air hujan seperti menderu. Aku terlompat, dengan tergesa-gesa segera berlari menyusuri anak tangga. Dengan secepatnya, menuju halaman rumah, jangan sampai hujan itu benar-benar membasahi semua tampah yang berisi ranginang penuh. Aku kembali menyimpannya ke dalam rumah. Kemudian sambil menunggu, aku berdoa, Dia pasti akan memberikan yang terbaik untukku, yang di hari itu mendapatkan tugas dari mama. Ternyata hujan itu hanya sekitar 30 menit. Dan mentari kembali terasa hangatnya. Kembali, aku menyusun rapi semua tampah itu di halaman rumah. Ohh, betapa lelahnya. Lelah raga tiada berarti bagiku, lelah pikiran yang ternyata amat menyiksa. Butuh kesabaran untuk hal sederhana menjemur ranginang. Dan itu dilakukan sempurna oleh mamaku selama ini. Luar biasa. Dan hal terbaik dari-Nya yang kudapat, adalah aku mengerti tentang arti sebuah perjuangan.

****

Masih ingat saat aku meminta mama berhenti menjalankan usaha garment. Aku katakan, mama lebih banyak membutuhkan waktu untuk istirahat, sedangkan usaha itu sangatlah lelah, menyita waktu dan tenaga. Dan aku sangat tidak rela melihat mama yang kelelahan. 

Aku tidak menyangka ternyata mama sakit, setelah seminggu berhenti melakukan aktivitasnya yang super sibuk. Dan keadaan ini lebih membuat hatiku ngilu. Aku mengetahui sesuatu. Salah satu passion nya selain garment adalah membuat ranginang. Sudah terbukti, dulu, saat aku masih di tahun pertama kuliah, banyak tetangga yang pesan, bahkan untuk dikirim ke luar kota. Aku mengapresiasinya. Bagiku, mamaku adalah wanita jenius, yang tak bisa betah dalam diam. Satu kompleks Perdagangan saja, kenal dengan mama, tapi sepertinya hanya segelintir saja yang kenali aku. Sungguh tragis. Ya, aku tak pandai bergaul mungkin. Entah karena trauma akan banyak kejadian di hidupku, atau karena memang aku berkarakter pemalu. Yang jelas, mamaku sangat cepat tenar. Pandai bergaul. Dan sebenarnya banyak hal yang aku dapatkan darinya tentang hidup. Ya, dari mulai hal kecil, menanam tanaman cabai saja, ia dapat dengan cepat beramah tamah kepada para tetangga. Banyak tetangga yang memuji cabai hasil tanam mamaku. Ya, aku pun kaget mengamati bahwa cabai yang dihasilkan begitu berisi, padat, dan mulus. Mungkin karena mama menanamnya dengan keceriaan, dengan penuh harapan, dengan pesan kehidupan. Bagiku, mama adalah wanita jenius yang luar biasa.

Saat aku mengusulkan migrasi usaha ke ranginang, bukan main senangnya tanggapan mama. Ia kemudian menyediakan waktu satu hari untuk berbelanja peralatan. Membeli tampah baru, kemudian menceritakannya padaku dengan riang gembira. Aku terenyuh. Belum pernah, ya, belum pernah sejak kejadian 10 tahun lalu, mama memancarkan aura bahagianya. Ya, aku menangis haru dalam hati. Aku bahagia tentu, karena kupikir mama telah memiliki fasilitas untuk menjalankan passion yang lain, tanpa perlu lelah berlebih. Tanpa perlu sakit karena terdiam. 

Namun, hari itu, saat aku diberikan kepercayaan untuk menjemur ranginang, aku mengerti. Betapa berjiwa besarnya mama, saat mengatakan kepadaku ada sekitar 50 ranginangnya dibuang, karena terendam air. Saat itu, aku menanggapinya dengan simpati yang ala kadarnya. Namun kini, aku menangis, begitu menegangkannya memproduksi ranginang di bulan penghujan ini, di saat pesanan semakin bertambah. Di saat relasi semakin banyak. Aku, yang telah merasakannya langsung bagaimana perjuangan itu, sangat tersentuh. 
Kebahagiaan saat giat bekerja. Ya, kebahagiaan yang ia pancarkan. Tiada pernah mengeluh. Aku merasakannya.

Bagiku, mama adalah perempuan yang luar biasa. Dan banyak hal yang kumiliki padahal ia selalu mencontohkannya. Tapi, tak pernah ada kecewanya padaku. Ia selalu ketakan bangganya memilikiku kepada semua orang. Aku sayang mama. Setiap jerihnya adalah kekuatanku untuk bangkit.

Mommy, You Give Color to My Soul


Jumat pagi yang cerah di bulan Juli 2004, aku dan ibuku berjalan agak tergesa menuju gedung sekolah bercat warna hijau bertuliskan SMA Negeri 6 Pandeglang. Ya, saat itu aku bermaksud untuk mendaftar di SMA karena baru saja aku lulus dan menerima ijazah dari SMP 219 Jakarta. Tak disangka ternyata hari itu pendaftaran sudah tutup dan di hari itu juga merupakan hari terakhir daftar ulang SMA. Sesungguhnya aku panik, kakiku lemas. Bagaimana tidak? Ijazah SMP yang baru saja kuterima di hari Kamis pagi, sorenya langsung kubawa ke Pandeglang, bersama dengan ibuku, dan ternyata pendaftarannya sudah tutup sejak seminggu yang lalu. Kesal, kecewa, ingin rasanya menangis saat itu juga, namun aku tak mau terlihat terpukul di dekat ibuku, karena aku tahu, banyak hal terjadi dalam kehidupan keluargaku saat itu dan tidak sedikit yang buat hatinya hancur.

Sedikit memohon, ibuku berbicara banyak hal pada panitia penerimaan siswa baru yang sepertinya juga guru di sekolah itu. Namun, apa dikata, mereka benar-benar tidak berminat bahkan untuk melirik nilai ijazahku, apalagi nilai raporku. Terlebih saat ibuku sedikit mengulas kondisi keluarga.
"Kepala sekolah kami sedang tidak ada. Kalo saja ada, mungkin Ibu bisa berlobi dengan beliau, tapi kepala sekolah memang benar-benar tidak ada."
"Lalu bagaimana dengan nasib anak saya? Kira-kira ada sekolah dekat sini yang masih menerima pendaftaran, Pak?"
"Coba Ibu ke jalan di bawah. Coba saja SMA yang di bawah sana, siapa tahu mereka mau menerima anak Ibu."
"Kalo begitu saya pamit, terimakasih Pak."

Tak perlu memohon lebih lama di sekolah itu, aku dan ibuku berjalan dengan tergesa ke sekolah yang ditunjuk oleh Bapak tadi, mengingat itu adalah hari Jumat dan jam sudah menunjukkan pukul 10.00. Sudah merupakan hal yang biasa di daerah Pandeglang, yang dikenal sebagai kota santri, di hari Jumat pasti kaum laki-laki akan bersiap ke masjid lebih awal. Sempat shock begitu melihat plang. Tertulis "SMAN 2 Pandeglang" Namun, tiada terlihat seperti sekolah, yang ada hanya bangunan yang hampir roboh, dan lahan kosong. Aku terenyuh. Namun, perasaan lega kembali kurasa sesaat setelah kemudian menengok ke sebelah kanan, ternyata plang itu hanya plang. Bangunan sekolah yang sesungguhnya bukan yang ada di belakang plang. Ya, plang itu hanya semacam menjadi petunjuk di tikungan saja, bahwa ada sekolah di posisi yang memojok dan agak ke bawah memang.

Tiba di ruang panitia, ibuku banyak bercakap kepada panitia, dan jawaban yang diterima, tidaklah jauh beda dengan sekolah sebelumnya yang aku kunjungi. Panitia di ruang itu agak bersantai, karena di SMAN 2 Pandeglang hari itu merupakan hari terakhir daftar ulang. Namun, setelah ibuku benar-benar menunjukkan sikap memohonnya, seorang panitia, yang terlihat jelas sekali, dia adalah guru, menghampiri, kemudian menanyakan nilai ijazahku. Kulihat muka ibu yang mengenakan blezer berwarna kuning, dan style jilbab yang berbeda dari umumnya itu, agak tercekat lama memandangi nilai-nilaiku di fotokopi ijazah itu. Sampai akhirnya berkata kepada ibuku.
"Bisa saya lihat nilai rapor anak Ibu?"
"Oh, iya, ada, saya membawanya."

Ibu itu, lama memandangi seluruh halaman raporku, sambil dalam hati aku terus berdoa supaya ada saja belas kasihannya padaku, karena aku memang benar-benar ingin melanjutkan sekolah, tak ingin terhenti walau hanya setahun. Dia menghampiri panitia lain, Bapak-bapak semuanya, ya, setelah kuperhatikan ruangan itu, ternyata ibu itu hanya wanita seorang yang menjadi panitia penerimaan siswa baru.
"Saya minta ijazah aslinya, Bu."
Hatiku mencelos, aku ceroboh, karena aku ingat betul, ijazah asliku kutinggal di rumah kakekku. Sedangkan jarak dari sekolah itu ke rumah kakek tidak dekat. Dengan menggunakan angkot, dan angkot itu melaju dengan kecepatan kira-kira 60 km/jam, baru bisa sampai 30 menit. Tapi, masalahnya tidak semua angkot dapat melaju secepat itu, terlebih di hari Jumat muatan penumpang sangat jarang. Namun, tak patah arang ibuku langsung menyanggupi untuk mengambilnya ke rumah, dan aku ditinggal sendiri di sekolah itu.

Sambil menunggu, aku mencoba menatap sekeliling gedung sekolah. Lapangan sekolah memiliki rumput yang agak tinggi, tanpa pavingblock. Kelas-kelas tanpa lampu, tanpa kipas angin. Kurasakan hangat tetes airmata. Pertanyaan-pertanyaan yang tepatnya kutujukan pada diri sendiri, membuatku menangis.

"Di jakarta ikut ekskul apa?" Tiba-tiba ibu guru yang style jilbabnya berbeda itu menghampiriku.
"Basket dan Pencak silat." Jawabku sesingkat-singkatnya, karena jujur saja aku masih shock. Aku masih berusaha menerima keadaan bahwa aku harus melanjutkan sekolah di 'kampung'. Entahlah bagaimana ekspresi ibu guru itu, yang jelas dia langsung terdiam dan mengamati badanku.
"Pasti tidak percaya. Jelas saja tidak percaya, badanku pendek dan kurus seperti ini." Kataku dalam hati, namun, aku lebih memilih menunggu ibuku dalam kediaman sambil terus mengamati keadaan lingkungan sekolah, dan membuat kalimat penghiburan yang mempan di hatiku, agar aku dapat berterima bahwa aku memang harus sekolah di sini, sekolah 'kampung'.

****

"Kalau dipikir-pikir, lucu ya Mom..."
"Iya, itulah kuasa Allah. Padahal jarang Mom mau jadi panitia penerimaan siswa baru, entah apa yang menggerakkan Mom saat itu. Tapi, yang jelas semua itu sudah diatur dengan kerapihan rencana Allah yang luar biasa, kita harus bersyukur."

Ternyata sekolah ini, tempat kumenimba ilmu pengetahuan, tempat mommy mengajar, telah mengukir banyak pelajaran kehidupan. Telah membukukan banyak prestasi. Aku bersyukur saat itu diberi petunjuk untuk menuju ke sekolah ini. Aku bersyukur, saat itu aku digerakkan menuju sekolah ini. Tempat aku mendapat ketulusan cinta yang begitu besar. Tempat aku menjadi dewasa. Dan pada akhirnya, hanya selang beberapa bulan aku bersekolah, ternyata sekolahku itu terpilih sebagai sekolah model! Ya, dan saat itu, yang terpilih sebagai sekolah model secara nasional baru 6 sekolah. Aku sangat bersyukur, aku tidak salah pilih, aku sudah diberikan jalan yang terbaik.

Kenangan awal kedatanganku di SMAN 2 Pandeglang benar-benar tak bisa kulupa. Setiap detail yang kulakukan, aku mengingatnya. Luar biasa. Ternyata aku jatuh cinta pada Kampus Samakta, sebutan untuk SMAN 2 Pandeglang, jatuh cinta pada suasana sejuk Pandeglang, dan jatuh cinta pada Mommyku. Dan semuanya adalah rencana-Nya yang begitu indah. Padahal tak pernah terbersit sekalipun aku bisa dekat dengannya, seorang guru Bahasa Indonesia, yang waktu itu benar-benar sangat berperan agar aku dapat bersekolah di sana. Lobinya tak terpatahkan, 'aset' begitulah sebutan untukku saat dia memperjuangkan ke hadapan kepala sekolah.

****

...
"Juara II Olimpiade Fisika Tingkat Kabupaten Pandeglang Tahun 2005 adalah 'Atih' dari SMAN 4 Pandeglang."
Terasa dekapan Mommy saat pembacaan pengumuman, mungkin karena perubahan air mukaku, aku sudah tiada lagi harapan. Namun, tak disangka Mommy memberiku semangat yang luar biasa.
"Tenang, De juara I! Kan belum selesai pengumumannya."
Senyumnya tak pernah lepas tuk selalu semangatiku.
Pancaran yang keluar dari matanya seolah berkata, 'Kamu adalah pemenang di hatiku, Nak'.
"Juara I Olimpiade Fisika Tingkat Kabupaten Pandeglang Tahun 2005 adalah 'Dewi Muliyati' dari SMAN 2 Pandeglang."
Benar saja! Aku menangis haru. Aku maju tuk menerima penghargaan. Aku tak pernah menyangka aku bisa. Ya, aku bisa. Terimakasih Mommy, kau percaya aku bisa, dan aku bisa!

****

"Hmmm... Tidak apa kan, gugur di babak penyisihan?"
"Tidak apa-apa. Buat Mom, De luar biasa, lagipula De hanya kalah sedikit, yang diambil 25, dan De ada di urutan 36. Dan, ingat, pesertanya 150 siswa untuk kompetisi fisika."
Entahlah, mungkin itu kalimat penghiburan dari Mommy yang saat itu sedang menemaniku di Pestasains IPB Bogor. Harapanku untuk menang memang besar. Tapi, apa daya, mungkin aku kurang belajar. Selain itu, aku juga mungkin terlalu sibuk di organisasi karena menjabat sebagai Sekretaris Umum OSIS. Ya, aku ingat semua tentang organisasi. Bagaimana tidak, saat aku katakan aku hendak keluar dari organisasi, Mommy melarangku. Pesannya, kita sekolah memang untuk belajar, tapi kita juga perlu belajar hidup dalam organisasi. Dan tak disangka, pemungutan suara pemilihan kader OSIS satu sekolah, aku terpilih menjadi sekretaris utama, "De pasti bisa! Mommy akan selalu bantu!" Begitu kata-kata Mom saat pelantikan.

"Dan sebelum kita menyaksikan babak final Kompetisi Fisika Pestasains IPB Bogor dari kelima finalis kita, kita akan membahas sedikit tentang alat peraga."
Deg! Hatiku berdebar, rasanya lemas. Akankah kesempatan itu masih ada setelah aku gugur di babak penyisihan. Entahlah, yang jelas aku sangat berharap.
Kutatap Mommy. Seolah mengerti, dia tersenyum, matanya bercahaya, seolah berkata 'Siapkan mentalmu, Nak'.
"Makalah dengan judul 'Ketika Gelap Menerjang Pandeglang' dan karyanya berupa emergencylamp terpilih sebagai Hasta Karya Terbaik Kompetisi Fisika Pestasains IPB Bogor. Kepada Ananda Dewi Muliyati, dipersilakan maju untuk mempresentasikan hasil karyanya. Hadirin, mari kita sambut dengan tepuk tangan meriah."
Yeay! Aku berteriak dalam hati. Senang bukan main. Aku tersenyum pada Mommy, yang saat itu ternyata sudah tidak ada di sampingku, karena telah berpindah ke tempat agak ke tengah dan bersiap untuk memotretku. Ini adalah penampilan pertamaku di tingkat nasional. Kulihat kebanggaan dalam raut mukanya. Senyumnya mengisyaratkan 'Tak apa Nak, tak membawa pulang piala juara, tapi De tetap berprestasi dengan menerima penghargaan Hasta Karya Terbaik. Kita harus bersyukur atas prestasi apapun yang kita raih.'

****

"Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya juara III ditetapkan diraih oleh 'Niken' dari SMAN 1 Rangkasbitung."
Mendengar keputusan juri, terang saja aku lemas. Mengapa saat penilaian, mereka katakan aku adalah calon penulis baik-baik. Tapi, mengapa saat ternyata pengumuman, nilaiku sama dengan peserta lain, dan mengapa bukan aku yang terpilih! Aku rasanya hendak marah. Ya, mengapa pula sebegitu teganya. Aku menangis sepanjang jalan. Aku benar-benar tidak terima dengan keputusan juri di lomba menulis tentang perpustakaan tingkat provinsi Banten itu. Diam mewarnai perjalananku dan mommy dari kota Serang menuju Pandeglang. Ibaratnya, pulang dengan kekalahan.
Esok harinya, "De, selamat! De dapet juara III! Lomba menulis yang kemarin!"
"Kok, bisa?" Aku kebingungan.
Mommy langsung menunjukkan sms nya dengan salah satu juri. Kurang lebih isinya tentang pengajuan dua penghargaan untuk juara III. Aku tak percaya mommy lakukan itu selama perjalanan pulang kemarin. Aku terharu. Aku bahagia, mengetahui hal ini. Bahkan, dalam diam pun dia merasakan aku, dalam diam pun dia berusaha untuk selalu membuatku bahagia.

****

"Pokoknya, De gak mau tau, Mom harus ke Tangerang! Mom temenin De nyusun skripsi! De udah bener-bener bingung!"
"Iya, tenang dulu ya, mom gak bisa langsung pergi saja, mom kan harus mengurus semua kepentingan mengajar. Mom pasti temani De, bahkan sampai sidang, Mom pasti temani..."
Mendengar kalimatnya, begitu menyejukkan, begitu dalam terasa kasihnya, begitu besar sabarnya, menghadapiku yang sedang tak karuan ini. Masa-masa yang sangat sulit.
"Mom, ini kalimat yang benernya apa? Cepet!!!"
"Iya, De sms aja, nanti mom kirim, mom lagi ngajar di kelas, De..."
Dan telepon segera kuputus, dengan perasaan geram tentunya. Kesal, entah kepada siapa. Hancur rasanya hatiku jika terbayang kemungkinan aku gagal dalam sidang skripsi tanggal 23 Juli itu. Dan, mommy ku baru besok siang bisa datang ke Ciledug, rumahku. Dan, saat aku telepon, mengapa pula tidak dengan cepat menanggapiku! Ah, entahlah, aku menangis seorang diri di kamar.
"Mommy.... Maafin De,... De gak sadar. Maafin De,,,, Mommy.... Happy b'day."
Dan aku sudah benar-benar keterlaluan, pagi di tanggal 19 Juli, aku malah menelepon Mommy bukan tuk ucapkan selamat ulang tahun, malah marah-marah tidak jelas, sambil meminta mom untuk mengoreksi kalimat yang tertulis dalam skripsi. Oh..., sungguh keterlaluannya aku. Tapi, tiada sedikitpun marah Mom... Dia tetap sabar. Aku mengerti satu hal yang pasti. Dia amat mencintaiku...

****

"Mom! Cepetan deh! Ngebut dikit apa bawa mobilnya!"
"Iya, sabar De. Ini juga mom berusaha cepat, yang penting kan dosen De sudah berjanji."
"Duh, De bener-bener bingung deh, gimana kalo dosennya gak mau lengkapi validasi perangkat pembelajaran? Haduuuh!!! Stres tingkat tinggi! Mom tau kan, besok itu De ujian skripsi!"
"Iya, yang harus kita lakukan adalah berdoa. Memohon yang terbaik."
...
"Sekarang sudah malam, rumah kamu jauh, kan?"
"Iya Pak, tapi saya diantar mommy saya."
"Hah? Ya ampun, kamu itu sampe merepotkan orang tua, menyusun skripsi kamu juga!"
"Hehehe, takut Pak kalo di kampus sampai malam sendirian mah."
...
"Mommy...! Alhamdulillah, sekarang sudah lengkap validasinya! Alhamdulillah...."
"Alhamdulillah, mom ikut senang. Dari jauh, mom lihat muka De sumringah. lega rasanya lihat anak mom seperti itu."
Mobil sedan itu melaju dengan cepat menuju rumahku, aku bahagia malam itu. Aku ditemani mommyku. Aku merasa tidak sendiri. Ya, kini aku percaya, saat mommy katakan aku bisa, maka aku bisa!

****

"Ya, selanjutnya!" Dosen yang menjabat sebagai ketua jurusan mempersilakan giliranku, sidang skripsi! Aku telah mempersiapkan semuanya, bahkan aku sempatkan untuk memeriksa koneksi kabel proyektor dan laptopku. Ketika kulihat, ternyata mommy melangkah keluar ruang sidang yang bersifat terbuka dan dihadiri oleh banyak mahasiswa juga, peserta sidang, adik tingkat, dosen-dosen, dan mommyku, tentunya. Aku mengerti. Mommy tak tega melihat anaknya 'dibantai', mungkin. Entahlah. Tapi, aku yakin, aku bisa melewati hari itu. Benar saja, aku mengalami sidang terlama dari 7 peserta sidang hari itu.
"Tadi, kenapa keluar ruangan, mom?"
"Mom gak tega lihat De sendiri di sana, diserang dengan banyak pertanyaan. Lama pula. Tapi, mom bangga, karena walaupun di luar ruangan, suara De terdengar jelas, terdengar tegar. Padahal mom kira suara De akan tidak terdengar"
"Itu karena ada mom. Ya, mom itu kekuatan buat De. Mom yang membuat kelabu itu menjadi lebih berwarna. Terimakasih atas semuanya."

Saat itu, aku sudah tak pedulikan lagi, apapun tanggapan orang. Terserah mereka, mereka boleh mengatakan aku adalah anak termanja. Atau aku yang 'lebay'. Terserah. Yang penting, aku bisa melewati sidang dan aku lulus. Toh, mommy datang untukku, bukan untuk mereka. Mommy terlihat puas. Aku lega sekali rasanya. Sepanjang perjalanan pulang aku tertidur di mobil. Ya, lelah sepertinya, lelah yang teriring dengan bahagia, dan kebanggaan mommy untukku tentunya.
Mommy, you give color to my soul...

****

"Dewi Muliyati dari Pendidikan Fisika FMIPA..."
Aku langkahkan kaki tuk ke depan. Saat itu perasaanku bercampur aduk. Di depan, ku berdiri di hadapan ribuan orang. Ribuan mata menatapku dan lulusan terbaik lainnya saat wisuda 24 September itu. Hari yang begitu bersejarah buatku. Sambil menunggu persiapan rektor, pembantu rektor, dekan, dan guru besar untuk memberi ucapan selamat, sesekali aku menatap jauh ke bagian undangan VIP B. Ya, di sana ada mommy. Aku berusaha menampilkan senyum terindah saat itu. Senyum yang membuatnya bangga. Karena kuyakin, iya sedang menyaksikan aku menerima penghargaan dengan bangganya.

****

Dua bulan berlalu sejak wisuda di gedung GSG UNJ. Kerinduanku kepada mommy amat besar. Apalagi sekarang, waktu luang untuk ke Pandeglang sangatlah sedikit. Aku seperti dijerat kesibukan. Aku juga rasakan rindu mommy padaku. Tapi, aku harus bertahan untuk meneruskan perjuangan, sebuah babak baru dalam kehidupanku yang sesungguhnya. Dunia kerja. Aku akan membuat mommy lebih bangga. Ya, itu janjiku. Aku sayang mommy.

Tulisan ini sebagai ungkapan kerinduanku. Ungkapan maafku, atas ketidakmampuanku melawan semua kesibukanku. Ada saatnya aku akan menghadirkan kebanggaan yang teramat untukmu, mommyku sayang.***

Without you, Mom, I would be lost...
Mom's Love can do anything that impossible...

Kamis, 24 November 2011

Aku Benci

Aku benci keadaan saat
kamu tak menghiraukanku.

Aku benci kenyataan ketika
kamu tak hendak bertemu denganku.

Aku benci saat rindu menyesakkan dadaku,
dan kamu tak sedikitpun berkabar padaku.

Aku benci waktu semua orang tanyakan kamu
dan aku tidak bisa menjawabnya.

Aku benci tidak tahu apa-apa.

Aku benci terperangkap sepi.

Aku benci diacuhkan.

Aku benci ditinggal pergi.

Aku benci pekat.

Aku terjatuh,
aku tertatih,
aku terengah,
di lorong sepi...

Rabu, 16 November 2011

Kamu itu Bahagiaku

Saat-saat kamu tidak menjawab pesanku, atau saat di mana kamu tak mengangkat teleponku, adalah waktu yang buatku semakin sadar, kamu begitu berartinya untukku, adikku...
Entah sejak kapan...
Aku menyayangimu, aku begitu peduli padamu, aku amat mencintaimu...
Aku, yang akan menyalahkan diriku jika aku tahu aku lalai dalam menjagamu tetap tersenyum dan semangat, maafkan aku. Hanya kata itu, selebihnya? Aku harus tetap bersabar, sampai kamu benar-benar merasakan aku sangat menyayangi kamu, hmmm, my soul...

Sore ini, begitu menyedihkan bagiku, karena aku lalai mengartikan sinyal darimu, yah, aku telah lalai menerjemahkan bahasamu, bahasa hati mungkin, atau bahasa kita, lebih tepatnya. Aku malah sibuk dengan perasaanku yang khawatir berlebihan dengan BB baru itu, karena di depanku sudah terbayang aku telah membuang dengan percuma layanan internet service, hanya gara-gara BB ku menolak nomorku. Aneh. Entahlah, mestinya aku sadari ini sejak awal, usah lagi mempermasalahkan dan ngotot agar nomor ***** ku terpasang di handheld itu, aku harusnya dapat berpikir mudah, simpel, ringkas, menggunakan layanan *** untuk internet service di handheld ku itu... Aaahh, semua sudah terlanjur terjadi.

Dan sekarang, sore ini, di saat aku sudah mulai bisa menenangkan pikiranku, mencoba kembali berkosentrasi pada tulisanku, aku menyesali kecerobohanku, aku 'terlalu terburu-buru' dalam mengambil keputusan, dan terlalu idealis, agar handheld ku itu terpasang nomor utama, dan keresahan yang timbul ternyata mengakibatkan 'berkurangnya sinyal hatiku' padamu, adikku... maafkan aku.

Sore ini, saat aku kembali menghubungimu, dan mengetahui keadaanmu, dan tak enya usahaku gagal agar tetap berkomunikasi padamu. Aku khawatir. Bukan karena aku tidak percaya padamu, aku khawatir sebagaimana khawatirnya seorang kakak kepada adiknya, aku berdoa supaya kamu baik-baik saja. Kalau saja kamu tahu, di sini aku, menunggu kabarmu dengan tak sabar. Tetapi aku tentu harus sabar, ya, harus mempertahankan kesabaranku, tepatnya. Karena pastinya lelah menyelimuti kegiatanmu hari ini. Maafkan aku, karena hari ini aku gagal menjadi kakak yang selalu melindungimu, mengerti adiknya, aku masih belajar...

Saat kukatakan aku merindukanmu, aku benar-benar merindukanmu. Bukan hanya sekedar kalimat yang terlafal otomatis di benakku karena aku terlalu sering mengatakannya, bukan, bukan itu.... Andai saja kamu tahu, aku mengatakannya sambil menitikkan airmata, karena aku memang benar-benar merindukanmu, kamu pasti akan langsung memelukku. Tapi tidak, aku tidak secengeng itu di depanmu. Kebahagiaanku setiap bertemu denganmu, itu saja sudah cukup untuk menutupi sakit yang ditimbulkan rasa rindu itu. Aku tidak mau kamu memelukku karena merasa iba atau kasihan kepadaku yang menangis di depanmu. Aku juga tidak mau mendengar kamu mengatakan rindu di telepon hanya karena aku mengatakan rindukanmu sambil menangis. Tidak. Setiap ucapkan rindu itu, setiap ucapkan sayang itu, aku selalu menggigit bibirku agar nada suaraku terkesan biasa, normal. Bahkan belakangan ini mungkin aku sering melakukan improvisasi mengucapkan kalimat-kalimat itu, adalah agar tidak kentara kerinduan yang begitu besar.

Miss you so much, my soul sister... And I really miss you, when i say it. :*

Selasa, 15 November 2011

Apa Kamu Tahu?

Kamu sudah mengetahui kalau aku merindukanmu.
Tapi, apakah kamu tahu, menangisku setiap malam karena merindukanmu?

Apa kamu tahu, perihnya saat satu-satunya harapan yang bisa membuatmu kembali bersemangat, satu-satunya yang kamu percayai tidak akan meninggalkanmu, malah mengacuhkanmu?
Kamu tahu rasanya?

Kamu tahu?
 

Minggu, 13 November 2011

Seperti Dicampakkan

Entahlah, seperti dicampakkan.
Rasanya lebih sakit ketimbang menerima pengkhianatan si p dan f.
Kamu tahu, mengapa sakitnya terasa lebih dahsyat?
Itu karena aku tak pernah menyangka kamu dapat berujar seperti itu.
Kamu dapat berujar kita tidak dapat bertemu untuk beberapa lama sampai entah kapan,
waw! it's a difficult thing for me.
But you? you don't.
Yeah, kamu tidak menganggap penting itu, karena, siapa sih aku di matamu?
iya, kan?
Kamu punya dia yang luar biasa hebat, cantik lagi, ditambah seorang dokter pula.
jadi, kamu tentu tidak akan pernah merasakan kehilanganku.
Berita baiknya, aku tak perlu khawatir kamu sedih. iya, kan?

Bagiku, saat aku telah menyayangi orang itu dengan sangat,
menahan rasa kangen membuat dadaku sakit, agak sesak saat bernapas.
Saat aku mengatakannya padamu, itu sebagai penyaluran kangen yang bertumpuk.
Ibarat bakteri, pertumbuhan kangen ku padamu itu, seperti pertumbuhan bakteri secara eksponensial positif dengan lambda yang besar.

Ya, jumlah kangen yang ada tidak sebanding dengan frekuensi bertemu.
Dan yang lebih parah lagi, kangenku itu tidak terbalas, alias bertepuk sebelah tangan.
Dan benar-benar mengkhawatirkan adalah saat sayangku untukmu menjadi luar biasa besar, kamu menganggapku sebatas sahabat saja... hmpth, aku tiada istimewanya di matamu.

Hal sepele memang, namun, aku telah terhasut oleh orang itu, bagaimana ini?
Hufth,,,, padahal tadinya aku bisa membiarkan orang itu, dan orang itu agak bosan juga sepertinya.
Tapi, saat dia menantangku....
'Coba saja deactive, pasti dia akan ganti pp, ada waktunya dia bosan, kalau begitu, dia tidak benar-benar menyayangimu'
'Dia sudah  mengatakan secara jelas kok, dia menyayangiku, lagipula dari sikapnya jelas, dia menyayangiku! kamu tidak tahu saja, memang kami berjauhan, tapi hati kami sangat dekat! Mengapa ketulusannya harus diuji dengan facebook yang tidak valid?!?'
'Kamu takut kan, dia benar-benar ganti pp, benar dia tidak tulus menyayangimu? Lagipula setiap orang dapat mengatakan sayang kepada siapa saja, termasuk kepada orang yang dibencinya sekalipun, karena kata itu dari otak!'
'Aku tidak takut, karena aku sendiri yang merasakan kasihnya yang tulus, dia jarang bersamaku, hanya karena keadaan saja, dia sibuk, dan kamu pasti tak akan mengerti! Lagipula perihal deactive facebook sudah pernah kulakukan, dan kenyataannya dia tidak hendak mengganti pp-nya!'
'Ah, itu karena masih baru-baru! Dia masih senang dengan fotonya itu, dia masih senang melihat fotonya yang lebih cantik karena jujur saja, dia terlihat lebih dewasa dari kamu! Aku begini, karena aku sayang kamu, aku tidak mau kamu disakiti olehnya, dia itu berpotensi untuk meninggalkan kamu begitu saja, mencampakkan...'
'Oke, kita buktikan. Aku akan men-deactivekan account facebook ku, dan lihat saja.'

Dan kamu tahu, caliku sayang.... kamu melakukan hal sesuai dengan perkiraan orang itu.
Padahal kk baru mendeactivekan 1/2 hari...
Mengetahui itu, tentu kk tidak akan pernah terpikir seperti yang orang itu pikir. Kamu pasti punya pertimbangan lain kan? kamu hanya sedang ingin mengganti pp saja, kamu hanya sedang ingin memasang pp foto kamu dengan rusa yang lucu itu saja, kan? Tidak ada maksud lain.
Tapi... tetap saja orang itu merasa menang.
Kemenangan orang itu, membuat kk seperti dicampakkan oleh kamu, padahal kamunya biasa2 saja, iya kan?

Ahhh,,,, apa harusnya kk ceritakan dulu sebelum mendeactive? Tapi, pasti kamu akan marah, karena kk tidak membiarkan perkataan orang itu, mau bagaimana lagi, kk tidak terima sayang kamu dibilang hanya sementara.

Tapi, sudahlah, 'yang berlalu biarlah berlalu' begitu kan katamu.
Kamu sudah terlanjur mengganti fotonya, dan orang itu sudah terlanjur mengetahuinya, dan orang itu sudah terlanjur merasa menang, dan...
Biarlah, mungkin perasaan dicampakkan ini akan berlalu, mungkin butuh beberapa hari, mungkin...

Sabtu, 12 November 2011

iya, kan?

Saat kamu melarangku tuk datang menemuimu,
sesungguhnya kamu hanya ingin menjaga nama baikku.
iya, kan?

Saat tiada lagi fotoku di samping fotomu,
sesungguhnya kamu telah memindahkannya ke dalam hatimu.
iya, kan?

Saat kamu bilang kita akan sulit bertemu,
maka aku tak perlu khawatir,
karena kamu pasti telah menyiapkan waktu luangmu untukku.
iya, kan?

Saat kamu tidak membalas pesanku,
maka aku tak perlu sedih,
karena pasti ada hal mendesak yang menghalangimu.
iya, kan?

Saat kamu tak datang di hari itu,
itu karena kamu benar-benar tidak tahu yang seharusnya,
karena aku adalah yang pertama istimewa di hatimu.
iya, kan?

Saat kamu tak menjengukku,
itu karena kamu benar-benar tak sempat,
karena kamu selalu berdoa tuk kesembuhanku.
iya, kan?

Saat tiada kabarmu kuterima,
tiadalah takut bagiku,
sebab itu artinya kamu baik-baik saja.
iya, kan?

Saat tiada satu pun kamu menerima teleponku,
tiadalah kecewa padaku,
sebab itu artinya ku meneleponmu di waktu yang tidak tepat.
iya, kan?

Saat kurasa kau jauh dariku,
harus ku singkirkan pikiran itu,
kemudian kuraba dadaku,
selanjutnya aku akan rasakan kamu,
kamu selalu ada di hatiku.
iya, kan?

Aku yakin:
   kamu tahu aku selalu mencintaimu
   kamu rasakan cintaku yang tiada pernah terhenti
   kamu tahu aku selalu merindukanmu
   kamu rasakan rinduku yang tiada pernah terhenti
   kamu tahu itu.
iya, kan?

Rabu, 09 November 2011

Nada-nada Cinta - Rossa

Masih terasa getar hati
Saat engkau ungkapkan
Segala yang terpendam
Dan kau bisikkan
Nada cinta
Semakin indah dunia 
Membuka mata hati
Getar-getar cinta
Semakin dalam kurasa
Bagai sebuah simponi dalam jiwa

Dulu ku ragu mengakui rasa cinta
Terpendam semua jadi nyata
Saat kau bisikkan

Nada cinta
Semakin indah dunia
Membuka mata hati
Getar-getar cinta
Semakin dalam kurasa
Bagai sebuah simponi yang ku damba

Aku bersyukur
Karena dirimu kekasih yang baik hati
Selalu menjaga kejujuranmu
Semoga abadi tali cinta kita

Nada-nada cinta
Semakin indah dunia
Membuka mata hati

Getar-getar cinta
Semakin dalam kurasa
Bagai sebuah simponi dalamm jiwa
Bagai sebuah simponi dalam jiwa
Yang kudamba

Selasa, 01 November 2011

Km 58

'Km 58'
Yap! Tulisan itu yang pertama kali kulihat saat mobil sedan menepi setelah sempat oleng di tengah jalan tol jakarta-merak. Begitu keluar, sedikit shock melihat ternyata ban depan yang sudah mengenaskan kondisinya. Padahal sempat diperiksa di rest area terdekat semua ban berkondisi baik. Kenyataannya, terdapat sobekan panjang di ban tubles itu, dan yang buat hampir saja ditabrak truk, alhamdulillah, Allah swt. masih memberikan keselamatan, dan perlindungan kepada aku, mommy, dan adikku.

Aku sempat bingung. Pertama, karena hujan mulai turun, langit sudah sangat gelap padahal saat itu masih pukul 11 pagi. Berbeda dengan jalan tol dalam kota, yang dalam selang waktu 5 menit, mobil bertuliskan JasaMarga pasti langsung menghampiri, dan -_-'. Lama kelamaan hujan menderas, sempat kulambaikan tangan saat ada dua orang laki-laki berboncengan sepeda motor di pinggir sawah, jalan di bawah jalan tol. Mereka sempat menengok, namun melewati kami begitu saja. Hufth... sedih rasanya... Saat itu masih sempat aku berandai-andai... Andai saja aku memiliki kekuatan untuk mengganti ban yang pecah itu.

Lima menit kemudian dua orang yang berboncengan sepeda motor tadi kembali menuju ke arah kami, mereka  menanyakan apakah kami membawa ban cadangan, kami menjawab kami membawanya. Mereka langsung naik ke jalan tol dan menggantikan ban depan itu. Alhamdulillah.... Tidak hanya itu, mereka katakan kepadaku agar aku dan mommy masuk saja di dalam mobil, karena tidak main-main derasnya hujan saat itu.

Hufth....