Labels

daniera (118) kanazawa (7) nada (92) pengetahuan umum (6) profesi guru (1) puisi (16) skripsi (1)
Tampilkan postingan dengan label puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label puisi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 03 Oktober 2013

Dingin Tak Tercatat - Goenawan Mohamad

Dingin Tak Tercatat

Dingin tak tercatat
pada termometer

Kota hanya basah

Angin sepanjang sungai
mengusir, tapi kita tetap saja

di sana. Seakan-akan
gerimis raib
dan cahaya berenang

mempermainkan warna.

Tuhan, mengapa kita bisa
bahagia?

1971

Sekhak - Goenawan Mohamad

Sekhak

Pada pukul 16:00, di bawah jembatan itu ia dengar ”sekhak”. Seperti bunyi waktu.
Seorang pemain catur selalu mengatakan kata itu
sebelum saatnya.

Dan seekor kuda rubuh.
Dua bidak lari ke sudut.

Tak ada yang akan mengatakan raja akan tumbang pada langkah ke-20. Sore dan debu bertaut. Ia bayangkan sebuah perang dalam asap. Di bawah langit diam, di petak terdepan, ada selembar bendera dengan huruf yang hampir tak terbaca: ”Akulah pion yang gugur pertama.”

Tapi tak seorang pun tahu kenapa prajurit itu–ia tak berwajah –berdiri di sana, siap dalam parit, meskipun merasa bodoh dengan mantelnya yang berat. Di seragamnya tak tertulis nama. Hari tumbuh makin hitam. Hanya ada cahaya api di unggun kecil. Hanya ada bau sup pada cerek, seperti bau busuk pada koreng. Tapi ia berharap.

”Jangan serahkan kami, Maestro, kepada nasib.” Siapa orang yang bergumam, siapa yang berdoa? Para uskup berdiri di petak kanan, di antara ksatria dan kavaleri, putih, hitam, sebuah deretan kerap sepanjang meja. Jam berdetak-detak seperti suara tongkat orang buta yang tabah. Ster. Sekhak. ”Jangan serahkan kami pada nasib.”

Tapi tiga pion lagi rubuh. Sebuah benteng muncul perkasa dari pojok. Musuh menyerbu. Sayap kiri bengkah. Di papan yang datar itu, hanya ada derap bergegas dan trompet infantri. Parit-parit dikosongkan. Roda-roda kanon didorong. ”Dengarkan suaraku, dengarkan suaraku, komandan peleton!”

Barangkali asap adalah setanggi, Maestro. Barangkali sudah datang saat berkabung. Akan selalu ada ratu yang dikabarkan tertawan, dan bendera-bendera diturunkan, dan opsir yang berpikir: jangan-jangan perang tak mesti berhenti.

Pada batang rokok yang kedua seseorang tertawa: kita akan pergi, Bung. Tapi di meja itu, di papan itu, pergi serasa menakutkan. Selalu ada sebuah fantasi tentang menang dan mengerti, sampai punah bidak di dataran pertama dan kau dengar ”sekhak”.

Ia tak tahu apa yang harus diingat dari kata itu.

2010

Senin, 10 Juni 2013

Ada Saatnya Aku Pergi - Daniera

Ada saatnya nanti, aku pergi.
Canda tawa tak ada lagi.
Ada saatnya nanti, aku tak bernapas lagi.
Tangis dan peluk tak ada lagi.
Ada saatnya nanti, aku pergi.
Denyut jantung tak ada lagi.
Ada saatnya nanti, aku tak bernapas lagi.
Peluh dan keringat tak ada lagi.
Ada saatnya nanti, aku pergi.
Selamanya.

Kamis, 30 Mei 2013

Batu - Sutardji Calzoum Bachri

batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu jarum
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji?
Dengan seribu gunung langit tak runtuh
dengan seribu perawan  hati tak jatuh
dengan seribu sibuk sepi tak mati
dengan seribu beringin ingin tak teduh.
Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai
mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai
mengapa peluk diketatkan sedang hati tak sampai
mengapa tangan melambai sedang lambai tak sampai.
Kau tahu?
batu risau
batu pukau
batu Kau-ku
batu sepi
batu ngilu
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji?


Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK ,1981

Rabu, 09 Januari 2013

Aku - Chairil Anwar

Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi


Maret 1943

Sabtu, 29 Desember 2012

Krawang-Bekasi - Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi


(1948) Brawidjaja, Jilid 7, No 16, 1957

Selasa, 11 Oktober 2011

Tapi - Sutardji Calzoum Bachri

aku bawakan bunga padamu
                                                 tapi kau bilang masih
aku bawakan resahku padamu
                                                 tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
                                                 tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
                                                 tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
                                                 tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu
                                                 tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
                                                 tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
                                                 wah!

Jadi - Sutardji Calzoum Bachri

tidak setiap derita
                                jadi luka
tidak setiap sepi
                                jadi duri
tidak setiap tanda
                                jadi makna
tidak setiap tanya
                                jadi ragu
tidak setiap jawab
                                jadi sebab
tidak setiap seru
                                jadi mau
tidak setiap tangan
                                jadi pegang
tidak setiap kabar
                                jadi tahu
tidak setiap luka
                                jadi kaca
                                              memandang Kau
                                                                       pada wajahku!

Senin, 29 Agustus 2011

Penjara Kesendirian - Daniera


Dalam diam yang kelam,
dalam hati yang terpatri,
dalam aku yang terpaku,
dalamnya sakit ini.

Tragis, memang.
Teriris...
Miris...
Pesimis...

Saat janji tak lagi ditepati,
Saat asa tak punya kuasa,
Saat cinta hancur di mata,
Saat harap meratap...

Membentuk penjara kesendirian,
Membuat sendiri menjadi sepi,
Membangun sepi dalam cekam,
Seperti terdiam dalam penjara,
penjara kesendirian.

Dalam luka harusnya ada kata,
dalam hati inginku diobati.
Namun semua terperangkap,
tak dapat bebas, tak bisa lepas
dalam penjara kesendirian.

Jeruji yang batasi kesendirian itu,
Separasi bentuk penjara diri.
Semua adalah kuasa-Nya,
kembali pada-Nya,
dan akhirnya kita tahu,
Semua karena kasih-Nya,
Kesendirian lebih baik daripada kesengsaraan.
Sendiri dan kuat lebih bermakna daripada bersama dan rapuh.
Semua sedang ditunjukkan oleh-Nya,
Betapa besar peduli-Nya, betapa besar sayang-Nya.
Agar ku tetap tegar melewati hari
dalam penjara kesendirian.

*Puisi ini kutulis teruntuk sahabatku, Bintang Ronauli, semoga dapat menghibur laramu, kawan...

Selasa, 26 April 2011

Belajar Membaca - Sutardji Calzoum Bachri

kakiku luka
luka kakiku
kakikau lukakah
lukakah kakikau
kalau kaki kau luka
lukakukah kakikau
kakiku luka
lukakaukah kakiku
kalau lukaku lukakau
kakiku kakikaukah
kakikaukah kakiku
kakiku luka kaku
kalau lukaku lukakau
lukakakukakiku lukakakukakikaukah
lukakakukakikaukah lukakakukakiku

Jumat, 22 April 2011

Doa Di Jakarta – WS Rendra

Tuhan yang Maha Esa,
alangkah tegangnya
melihat hidup yang tergadai,
fikiran yang dipabrikkan,
dan masyarakat yang diternakkan.

Malam rebah dalam udara yang kotor.
Di manakah harapan akan dikaitkan
bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan?
Dendam diasah di kolong yang basah
siap untuk terseret dalam gelombang edan.
Perkelahian dalam hidup sehari-hari
telah menjadi kewajaran.
Pepatah dan petitih
tak akan menyelesaikan masalah
bagi hidup yang bosan,
terpenjara, tanpa jendela.

Tuhan yang Maha Faham,
alangkah tak masuk akal
jarak selangkah
yang bererti empat puluh tahun gaji seorang buruh,
yang memisahkan
sebuah halaman bertaman tanaman hias
dengan rumah-rumah tanpa sumur dan W.C.
Hati manusia telah menjadi acuh,
panser yang angkuh,
traktor yang dendam.

Tuhan yang Maha Rahman,
ketika air mata menjadi gombal,
dan kata-kata menjadi lumpur becek,
aku menoleh ke utara dan ke selatan -
di manakah Kamu?
Di manakah tabungan keramik untuk wang logam?
Di manakah catatan belanja harian?
Di manakah peradaban?
Ya, Tuhan yang Maha Hakim,
harapan kosong, optimisme hampa.
Hanya akal sihat dan daya hidup
menjadi peganganku yang nyata.

Ibumu mempunyai hak yang sekiranya kamu mengetahui tentu itu besar sekali
Kebaikanmu yang banyak ini
Sungguh di sisi-Nya masih sedikit
Berapa banyak malam yang ia gunakan mengaduh karena menanggung bebanmu
Dalam pelayanannya ia menanggung rintih dan nafas panjang
Ketika melahirkan andai kamu mengetahui keletihan yang ditanggungnya
Dari balik sumbatan kerongkongannya hatinya terbang
Berapa banyak ia membasuh sakitmu dengan tangannya
Pangkuannya bagimu adalah sebuah ranjang
Sesuatu yang kamu keluhkan selalu ditebusnya dengan dirinya
Dari susunya keluarlah minuman yang sangat enak buatmu
Berapa kali ia lapar dan ia memberikan makanannya kepadamu
Dengan belas kasih dan kasih sayang saat kamu masih kecil
Aneh orang yang berakal tapi masih mengikuti hawa nafsunya
Aneh orang yang buta mata hatinya sementara matanya melihat
Wujudkan cintaimu dengan memberikan doamu yang setulusnya pada ibumu
Karena kamu sangat membutuhkan doanya padamu

Posting ini kutulis untuk cali, adikku... My soul sister, my lovely sister,....

Selasa, 08 Maret 2011

Makan Daging Saudara Sendiri - Taufik Ismail

Sore ini aku bergunjing dengan tetangga
Besok pagi aku bergosip dalam jam kerja
Lusa hari aku mengumpat teman sesama
Aih aih, perangaiku ini

Sore ini aku bergunjing lewat telepon
Besok pagi aku bergosip dalam arisan
Lusa hari aku mengumpat sobat kerabat
Aih aih, perangaiku ini

Mencaci di belakang punggung
Mencerca tak tampak muka
Memaki orang sedang pergi
Aih aih, perangaiku ini

Menggigit daging saudara sendiri
Memakan daging saudara sendiri
Mengunyah daging saudara sendiri
Itulah yang kulakukan berulang kali
Itulah yang kulakukan setiap hari
Bertahun-tahun sampai saat ini
Bertahun-tahun sampai detik ini
Aduh aduh, bagaimana aku ini

Aku terhormat di masyarakat
Aku syahadat, shalat dan zakat
Aku puasa dan naik haji
Aduh aduh, bagaimana aku ini
Tapi aku bergunjing setiap hari
Tapi aku bergosip tiada henti
Tapi aku mengumpat sehari-hari
Kumakan daging saudara sendiri
Aduh aduh, bagaimana aku ini
Aduh aduh, bagaimana aku ini

Taufik Ismail

Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya - Taufik Ismail

“Tadi siang ada yang mati, Dan yang mengantar banyak sekali Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus! Sampai bensin juga turun harganya Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula Mereka kehausan dalam panas bukan main Terbakar muka di atas truk terbuka Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu Biarlah sepuluh ikat juga Memang sudah rezeki mereka Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan Seperti anak-anak kecil “Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutan!” Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya Dan ada yang turun dari truk, bu Mengejar dan menyalami saya “Hidup pak rambutan!” sorak mereka Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar “Hidup pak rambutan!” sorak mereka “Terima kasih, pak, terima kasih! Bapak setuju kami, bukan?” Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara “Doakan perjuangan kami, pak,” Mereka naik truk kembali Masih meneriakkan terima kasih mereka “Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!” Saya tersedu, bu. Saya tersedu Belum pernah seumur hidup Orang berterima-kasih begitu jujurnya Pada orang kecil seperti kita.

Kita Adalah Pemilik sah Republik Ini - Taufik Ismail

Tidak ada pilihan lain.
Kita harus Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur

Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku?”

Tidak ada lagi pilihan lain.
Kita harus Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara

Tidak ada lagi pilihan lain.
Kita harus Berjalan terus.

Taufik Ismail

Puisi ini puisi termasuk puisi favorit, karena puisi ini mendekatkanku dengan mommy....

Memang Selalu Demikian, Hadi - Taufik Ismail

Setiap perjuangan selalu melahirkan
Sejumlah pengkhianat dan para penjilat
Jangan kau gusar, Hadi

Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita
Pada kaum yang bimbang menghadapi gelombang
Jangan kau kecewa, Hadi

Setiap perjuangan yang akan menang
Selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian
Dan para jagoan kesiangan

Memang demikianlah halnya, Hadi...

(Taufik Ismail)

Kemis Pagi - Taufik Ismail

Hari ini kita tangkap tangan-tangan kebatilan
Yang selama ini mengenakan seragam kebesaran
Dan menaiki kereta-kereta kencana
Dan menggunakan meterai kerajaan
Dengan suara lantang memperatas-namakan Kawula dukana yang berpuluh-juta

Hari ini kita serahkan mereka
Untuk digantung di tiang Keadilan
Penyebar bisa fitnah dan dusta durjana
Bertahun-tahun lamanya

Mereka yang merencanakan seratus mahligai raksasa
Membeli benda-benda tanpa-harga di manca-negara
Dan memperoleh uang emas beratus-juta Bagi diri sendiri, di bank-bank luar negeri
Merekalah penganjur zina secara terbuka
Dan menistakan kehormatan wanita, kaum dari ibu kita

Hari ini kita tangkap tangan-tangan Kebatilan
Kebanyakan anak-anak muda berumur baru belasan
Yang berangkat dari rumah, pagi tanpa sarapan

Telah kita naiki gedung-gedung itu
Mereka semua pucat, tiada lagi berdaya
Seorang ketika digiring, tersedu
Membuka sendiri tanda kebesaran di pundaknya
Dan berjalan perlahan dengan lemahnya.