Labels

daniera (118) kanazawa (7) nada (92) pengetahuan umum (6) profesi guru (1) puisi (16) skripsi (1)

Selasa, 31 Januari 2012

Teruntuk Sahabatku,...

Sahabatku yang terkasih,

Sudah lama, sejak kelulusan itu, sudah lama kita tidak berdiskusi, sudah lama aku tidak dibuat kesal oleh panikmu, sudah lama kita tidak berdebat tentang fismat, dosen, tugas, penelitian, karir, ngajar, dan masih banyak yang lainnya yang kurasa sudah lama sekali kita tidak melakukannya.

Sahabatku, banyak momen yang aku rindukan dalam kebersamaan kita, walau dalam banyak perbedaan. Namun dari sana, aku belajar menghargai, aku belajar dewasa, aku belajar tegar, belajar kuat, belajar memahami, aku belajar banyak. Masih ingat saat-saat itu. Biasanya, kamu akan panik di setiap tugas mata kuliah. Kemudian kamu tidak akan berhenti menyemangatiku agar aku dapat menyelesaikannya, dan meyakinkan aku pasti bisa. Sebenarnya ada kesan lucu di sana, andai kamu tahu, saat itu aku juga panik, tiada tempat bertanya, dan jalan keluar satu-satunya adalah berpikir keras untuk kemudian mendiskusikannya denganmu. Menariknya, keyakinanku untuk menyelesaikan semua tugas perkuliahan muncul dari keyakinanmu bahwa aku bisa.

Sahabatku, kondisiku yang terus menurun, membuatku memanfaatkan sisa waktu luang untuk benar-benar istirahat dan memangkas kesempatan untuk bertemu denganmu. Sejak hari bersejarah itu, aku sadar, sangat sadar malah, kita akan jarang berkomunikasi, jarang berdiskusi. Yeah, walaupun, waktu itu kita pernah sama-sama bermimpi (dan mudah-mudahan kamu masih ingat), tentang rencana kita melanjutkan studi, tentang rencana kita mengumpulkan uang di negeri orang, indahnya bermimpi saat itu.

Sahabatku, sejak hari bersejarah itu, hari yang kita telah kehilangan kesempatan untuk berfoto bersama. Ya, sejak hari itu, aku berusaha menyelesaikan semua masalahku sendiri, menghadapinya, berpikir, dan kemudian mencoba mengaplikasikan pemikiranku agar masalah tersebut dapat terselesaikan sesuai harapku. Tapi, yang satu ini... aku bingung menjelaskannya. Inginku, ungkapkan langsung padamu, tapi sekarang saja, aku menuliskan ini dalam sakitku.

Sahabatku, yang satu ini, masalah yang luar biasa sulit, bagiku. Kamu tahu kenapa? Masalah ini menyangkut hati. Bukan, bukan tentang kegalauan, sahabatku, bukan tentang itu. Ini beda permasalahannya. Ini tentang rasa sayang yang tulus murni, rasa cinta yang begitu besar. Kasih yang terlalu.

Lantas? Apa masalahnya? Mungkin kamu akan terheran, sahabatku. Tak apa, wajar saja. Bahkan jika kamu akan mengatakan aku terlalu mendramatisir atau aku terlalu melebih-lebihkan suatu hal, sungguh tak apa. Semoga saja, kamu masih ingat bagaimana perangai asliku saat kita kuliah dulu, saat kita 4 tahun bersama...

Sahabatku, yang satu ini... Aku sudah mencobanya, tapi aku gagal menemukan cara terbaik. "Bagaimana caranya agar aku dapat mengurangi sayangku yang terlalu pada seseorang yang amat kucintai?" Oke, mungkin pertanyaanku terlalu aneh buatmu. Untuk apa dikurangi, bukankah justru lebih baik bertambah? Bayanganku, kamu akan katakan itu.

Jadi, alurnya seperti ini. Aku mencintai dan mengasihi seseorang dengan terlalunya, ya, aku katakan, aku 'sangat' menyayanginya. Dan aku, sudah bertekad untuk sebisa mungkin membuatnya bahagia. Aku yang tidak bisa katakan tidak. Ya, sungguh aku tidak bisa katakan tidak untuknya, andai saja ia meminta. Tapi, ... Suatu hari saat aku katakan aku sangat menyayanginya, lalu kemudian ia katakan "jangan 'sangat', jangan 'terlalu'". Bukankah itu permintaan? Lantas apakah aku harus benar mengurangi sayangku? Padahal rasa itu terus bertumbuh, bahkan sampai limit mendekati tak hingga? Bagaimana ini? Aku sungguh bingung. Sampai sekarang aku telah mencoba, dan aku tidak berhasil mengurangi sayangku yang terlalu itu untuknya. Apakah kamu dapat membantuku? Kamu tahu aku, bukan? Bagaimana kesungguhanku, bagaimana aku, kamu tahu bukan?

Sahabatku, tulisan ini adalah bentuk wujud aku merindukanmu, merindukan masa-masa kita dapat becanda, ceria, diskusi, peluh dalam tugas, larut dalam pengetahuan, ya, aku katakan aku merindukanmu dan semua tentang kebersamaan kita 4 tahun itu. Dan, maafkan aku, jika ternyata aku sudah berbeda  di matamu, aku bukan yang dulu, yang bisa selesaikan semua masalah dengan tegarnya, aku bahkan melimpahkan pertanyaan padamu, di tulisan ini, tulisan tentang rinduku padamu. Semoga kamu bisa menjawab tanyaku, sahabatku....

*dari sahabatmu, yang akan selalu sabar hadapi panikmu, :)

Kamis, 26 Januari 2012

Telaga Rindu

Aku akan menyampaikan melalui tulisan ini,
karena sudah tiada asa tuk menerima hadirmu dalam tiadamu.
Sungguh tiada alasan yang buatku menghalanginya, karena
aku telah menjadi buku yang terbuka di matamu.

Fajar datang, menyadarkanku untuk segera terjaga.
Mengingatkanku untuk segera berserah pada-Nya.
Adalah hal yang sungguh tersia jika kulanjutkan
kepiluan atas dirimu, yang tak kunjung mengatakan.

Maka aku putuskan tuk menyapa mentari.
Kemudian bersahabat dengan matahari.
Jelas, inginku adalah menguapkan rindu itu,
Berharap rindu itu menguap, seiring
dengan persahabatanku bersama mentari.

Daya yang kukerahkan, semata agar aku kuat.
Kuat untuk tidak menangisi kerinduanku padamu,
yang begitu besarnya, yang tiada pernah terbalas.
Dan ternyata aku berhasil.
Mereka, tiada kan pernah melihat tangisku.
Air mataku tersapu habis oleh sengatan matahari.
Jika sebentar saja kuingat kamu,
jika sesaat saja aku sadar kurindukanmu,
dan aku tak mampu membendung air mataku,
maka aku tidak perlu khawatir.
Mereka toh tidak akan pernah melihat piluku,
mereka tidak bisa melihat air mataku,
karena persahabatanku dengan mentari
membuatnya telah menjadi terlalu cepat mengering.
Tetapi itu bagi mereka.

Bagiku...

Saat mentari itu perlahan meninggalkanku.
Ketika sinarnya tak lagi menyengat peluhku,
tak lagi menguapkan tangisku.
Aku tersadar tiada kan pernah bisa lupakanmu.
Aku tersadar tiada kan habis rindu untukmu.

Saat itu aku tahu aku gagal.
Aku melakukan hal sia-sia tuk hapuskan rindu.
Karena uap itu begitu cepat mengembun,
seiring senja mengalihkan mentari pada peraduan bulan.

Saat pekat mengelilingiku, aku bertanya.
Apakah kamu mendengar suara hatiku,
yang selalu memanggil namamu,
dan kemudian coba tuk menggemakan rinduku.
Terdengarkah gema rinduku?
Atau hanya gaungan tak jelas dan kau abaikan.
Seperti kamu mengabaikanku.
Seperti kamu mengacuhkanku.

Atau mungkin aku sedang berkhayal.
Bahwa aku menemukan frekuensi yang tepat,
hingga hatiku dan hatimu dapat beresonansi,
hingga kamu tahu aku selalu rindukanmu,
hingga kamu tahu aku inginkan bertemu,
hingga aku juga dengar kamu katakan rindu,
hingga aku tahu kamu inginkan pelukku,
hingga....

Ternyata keberadaan pekat begitu panjang kurasa,
lebih lama dari persahabatanku dengan mentari.
Haruskah aku bersahabat jua dengan pekat?
Membentuk embun lebih banyak dari yang ku uapkan?
Lalu mengumpulkannya, menyimpannya,
sebagai suatu rutinitas yang tak dapat kuhindarkan.
Dan apakah kamu mengetahuinya,
bahwa aku melakukannya,
benar-benar melakukannya.

Embun itu terlalu cepat terkumpul.
Embun itu terlalu banyak dari yang kukira.
Embun itu adalah rinduku.
Membentuk telaga, yang aku sendiri
tidak bisa menguasai jumlah air di dalamnya.
Rindu itu begitu cepat menelaga.

Bahkan seandainya,
kamu memelukku dengan eratnya.
Tiada kan pernah habis rinduku yang menelaga itu.

Aku selalu merindukanmu,
selalu mencintaimu,
dan tiadalah kan berhenti,
sampai peluh itu benar-benar
membuat jantungku terhenti.

Dari Keranjang Besar

Kamu yang Terkasih,

Kini, aku mengerti letak keistimewaan.
Semua, terkait dengan kepentingan. Tak lepas dari sifat manusia. Yang pasti rasakan kejenuhan.

Ya, kini aku mengerti sedikit tentang kerumitan hidup. Tentang makna kata 'istimewa'.

Kamu akan terasa istimewa saat kamu memiliki peranan penting bagi orang lain. Kamu akan diistimewakan jika kamu menjumpai suatu kelangkaan. Mungkin semacam  hukum alam. Selama ini kita mengetahui kelangkaan, atau mirip dengan kepunahan. Setiap yang langka di bumi ini akan mendapat perhatian ekstra, mendapat perlakuan istimewa. Semua tercurah untuk mempertahankan keberadaan yang semakin langka atau mendekati punah. Dan aku baru menyadari, ternyata itu merupakan analogi yang dapat berlaku dalam kehidupan..., kehidupanku.

Aku tak menyangka.
Ya, karena sebelumnya kupikir, semua berpotensi jadi istimewa, ya, semua.
Namun aku salah. Ya, aku salah.

Betapa peliknya bahwa hukum kelangkaan akan berkaitan erat dengan istimewa.
Aku baru mengerti,
aku baru mengerti.
Aku harus membuat semua menjadi langka, atau haruskah aku membuat kedekatan dengan kepunahan dalam hidupku, agar semua menjadikan istimewa. Entahlah.
Kamu tentunya lebih mengerti.
Kamu dan aku terlahir di tempat yang berbeda.
Kamu ajariku banyak hal.

Agar tiada kejenuhan maka aku harus menciptakan keadaan langka, begitukah? Agar tiada dilupakan, aku harus menjadi benar-benar sesuatu yang langka, atau menjadi sesuatu yang sebentar lagi punah, begitukah?
Entahlah.

Aku hanya sedang belajar menganalogikan. Beritahukan aku jika aku salah.
Karena kini aku berpikir tentang semuanya sendiri, tanpamu, tanpa siapa yang mendampingiku.

Beritahu aku jika aku keliru, karena aku masih dalam tahap pendewasaan.
Kamu akan selalu bersamaku, kan?
Adamu selalu 'sangat berarti'
Adamu selalu 'sangat kunanti'
Terbukti, sore itu, saat kuterlihat seperti sedang menyendiri.
Kamu lewat di depanku, Kamu menghampiriku, dengan wajah khawatirmu.
Padahal aku bisa lihat kamu sedang tergesa. Namun, karena kelangkaan kebersamaan kita, ternyata sore itu menjadi sangat berarti, lebih berarti dari sebelumnya.
Apakah itu benar?

Aku kira kamu lupakan aku, ternyata tidak. Kelangkaan pertemuan yang terjadi di antara kita, ternyata membuatmu tidak pernah lupa aku. Ternyata membuat sore itu menjadi sangat berarti, karena kamu membawakan sesuatu. Mungkin akan beda maknanya jika sesuatu itu kamu bawa sesaat setelah kamu kembali ke sini. Kamu tentu tidak akan pernah berhenti mengajariku banyak hal, begitu kan?

Aku harus tetap bertahan menghadapi semua hal yang mengatasnamakan kepentingan dan kekuasaan, mungkin. Kini aku mengerti beberapa analogi yang terterap dalam hidup.
Atau... aku salah?
Maka beritahu aku.
Ya, beritahu aku, karena aku dan kamu telah kehilangan suatu masa dapat menciptakan perdebatan dengan argumen-argumen ilmiah. Ya, saat itu..., seingatku, waktu di mana aku dan kamu tak bisa lagi bertukar argumen ilmiah, mencampurnya, menggabungkannya, memahaminya, dengan suatu satu pemahaman utuh, tuk menjawab semua persoalan.

Dan waktu itu tidak ada lagi. Tapi, saat kita secara kebetulan membahas mengenai tiga... tiga apa ya? aku lupa. Dan aku membuat pertanyaan semacam perbandingan. Aku penasaran, bagaimana aku..., di hatimu.

Dan kamu dengan sejuknya mengatakan bahwa aku berbeda, ya, tentu berbeda dari ketiga itu. Dan kamu katakan perbedaanku dari mereka adalah aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku tersenyum mendengarnya.

Kamu katakan saat tiga itu menyakitimu, dan aku? Aku tiada pernah menyakitimu, aku tiada pernah meninggalkanmu, tak peduli seberapa jauh mereka bertiga itu menjaga jarak denganmu. Dan kamu dapat membaca isi hatiku tanpa membuatku terkesan menjadi buku yang terbuka.
Aku mencintaimu.

Saat nanti, akankah kamu berikan satu kesempatan padaku untuk berfoto bersamamu, berdua saja, tanpa perlu merasa risih atau tersingkir oleh teman-temanmu yang juga amat menyayangimu dan kamu sayangi tentunya.
Atau... menyelipkan kesempatan itu, saat kamu dan keluargamu yang pasti mengiringimu. Adakah aku telah menjadi bagianmu? Seperti yang kamu bilang sebelumnya.

Kini aku mengerti, saat aku dengan menangis dalam pelukmu.
Kamu katakan risiko mencintai adalah sakit hati.
Dan kita harus menerima keduanya.
Dan kini aku mengerti.
Ya, kamu mengajarkanku ketabahan saat itu.
Sebuah ketegaran, walau tak lepas dari air mata.

Jumat, 20 Januari 2012

Supernova, Lebih dari Sekedar Ledakan

Surat Untuk Dewi ‘Dee’ Lestari
Untuk Blog Contest Mizan.com


Dee, pertama kali aku baca novel Supernova, "Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh", aku langsung suka. Semua tulisanmu nampak begitu luar biasa buatku yang baru duduk di kelas 2 SMA. Bahkan, aku sampai tidak melewatkan setiap kata yang terdapat di bagian "cuap-cuap". Tiap harinya dalam satu minggu aku membahas Supernova bersama dengan teman-teman Mading sekolah, Bahana Samakta. Dan, ternyata reaksi mereka luar biasa. Aku dan teman-teman Mading lain tiba-tiba saja menjadi penggila berat novel-novelmu. Dan, kamu tahu, kegilaan kami saat itu bertambah saat guru Bahasa Indonesia kami, memasukkan nama 'Dee' di dalam barisan sastrawan, wow!


Aku mengetahui arti supernova tepatnya saat aku menjadi mahasiswa Pendidikan Fisika, tepatnya pada mata kuliah Fisika Modern.Saat SMA, aku menyebutnya ledakan luar biasa. Namun, tidak hanya sekedar ledakan, supernova memiliki energi yang luar biasa besar, yang diproduksi dari fusi nuklir. Supernova, memberikanku sebuah gambaran bagaimana menulis secara luar biasa. Imajinasi tinggi. Realita. Filsafat. Saat membacanya aku merasa bebas, lepas.Mengalirkan energi ke dalam suatu tulisan. Semua begitu terkesan. Membuat aku makin mencintai sastra, dunia kepenulisan, dan fisika, tentunya. Saat itu, sebagai remaja yang geloranya sering bergejolak, aku punya tekad, aku ingin menjadi penulis. Saat itu aku dan genk ku, kalau boleh disebut genk, berhasil membuat suatu tren untuk kalangan kami di sekolah. Kami mendefinisikan 'gaul' jika mampu membahas novel dengan imajinasi berat, seperti novel-novelmu, Dee. Ahh, aku bahagia sekali saat itu, aroma semangat membaca begitu kentara. Aku suka atmosfer yang mendorongku untuk tidak pernah berhenti membaca, berkarya, berbagi. Aku suka semua, dan itu tentunya harus diawali dari sebuah ledakan, dan ledakan pertamaku kudapat dari supernova. Aku begitu terpikat dengan pengetahuan tokoh 'Diva'. Luar biasa. Pencitraan yang istimewa. Penyampaian yang mampu membuat mataku terkait setiap untaian katanya, baik itu yang luar biasa, ataupun karena aku yang belum memahaminya. Ahhhh, aku suka semuanya, Supernova petir, supernova akar.... Semuanya membuatku lebih memaknai kehidupan.


Dee, aku menyimpan banyak mozaik, yang aku sendiri, masih berusaha keras menyusunnya, agar menjadi suatu kesatuan yang utuh. Satu hal yang kudapat darimu, Dee, bahwa penulis yang luar biasa adalah yang mampu menyampaikan pesan dan mengemasnya dengan anyaman ilmu pengetahuan yang luas. Bahwa selanjutnya penulis luar biasa dapat menginspirasi orang lain untuk menjadi penulis. Dari tulisanmu juga, aku merasakan suatu pendobrakan pengungkungan. Ya, kebebasan menulis. Dan sampai sekarang, aku masih berusaha agar mendapatkan kebebasan itu. Surat ini, membuatku kembali membuka dan membaca supernova, membuatku rindu masa-masa aku dapat membahas novel-novelmu, bersama dengan sesama penggilamu. :)

Namun, pada akhirnya aku sangat berterimakasih, aku banyak mendapatkan inspirasi dari tulisan-tulisanmu. Berharap suatu saat nanti aku dapat membicarakan banyak hal denganmu. Love your books, Love you! ***(dari aku, penggila beratmu)

Untuk: Mizan.com

Malam Itu...

Seperti yang kukatakan dalam pembicaraan di telepon siang itu. Aku tidak siap menghadapi ekspresimu, jika ku ceritakan langsung. Bagiku, ini adalah hal yang amat serius dan amat berdampak bagiku. Memberikan satu ketakutan. Tapi, ya..., yang penting bagiku, belum tentu penting juga untukmu. Dirimu teramat berarti untukku, teramat besar cintaku untukmu, tapi, ya..., belum tentu aku juga sama berartinya untukmu.
**** 

Malam itu, sedang terburu, dari bagian resepsionis hotel. Ada dua orang berdiri beriringan, dekat sekali di sampingku, sampai pada akhirnya aku tahu bahwa mereka ditugaskan untuk mengawalku. Agak aneh memang, tapi aku tidak bisa protes atau menyampaikan keberatan, karena mereka berdua seperti agak menyeretku untuk jalan lebih terburu. Sesaat hendak memasuki kamar hotel, aku seperti melihat kamu, dari belakang, aku hafal, ya, aku tau itu pasti kamu. Tapi aku tertahan demi kedua orang di sampingku tidak mencurigainya. 


Kemudian di dalam kamar, mereka membuka banyak berkas, sepertinya itu adalah pekerjaan untukku, tapi, kemudian, mereka mengatakan, aku mengerjakannya esok paginya, dan saat itu mereka mempersilakan  aku istirahat, 'di dalam kamar' tidak keluar selangkahpun. Ahh, sepertinya mereka tahu, jika aku keluar, aku pasti akan menghampirimu, karena kamar kamu, tepat berseberangan di kamarku. Saat itu, rasanya aku ingin mengamuk saja, semua gerakanku dibatasi. Dan, aku baru tersadar, mereka memonitor dan merekam kejadian di depan kamarku, ya, mereka memasang kamera pengintai.


Sampai akhirnya aku mendapatkan ide, aku katakan kepada mereka, saluran air di kamar itu rusak, dan aku harus menggunakan fasilitas di luar kamar itu. Mereka awalnya agak keberatan, aku tahu hal itu dari sikap mereka yang langsung memanggil pihak hotel untuk bersegera melakukan reparasi. Aku tertawa kecil dalam hati, pastinya pihak hotel akan lama memperbaikinya, karena aku sendiri yang telah membuat kerusakannya. Dan tidak mungkin juga pindah kamar, mereka telah mempersiapkan segalanya di kamar itu. 


Aku mendesak mereka, sampai akhirnya mereka setuju aku memakai fasilitas yang diperuntukkan bagi karyawan hotel. Mungkin mereka pikir aku tidak mungkin kabur atau entahlah. Aku masuk ke ruangan seperti dapur hotel. Entahlah. Untuk ke sana, aku tidak dikawal mereka, aku hanya diantar petugas. Sesaat sampai di dalam kamar mandinya, aku bersegera mengganti kostum, dan melewati bagian pipa-pipa saluran untuk keluar dari sana. Aku terus melewati pipa-pipa panjang itu, bising, banyak suara yang ditimbulkan dari mesin-mesin milik hotel. Ah, tapi aku tidak akan menyerah. Sampai akhirnya aku keluar di belakang hotel, semak belukar, dan baru tersadar, kakiku penuh dengan goresan. Aku terus berlari mencari jalan berputar. Dan ah! Aku sempat terjatuh beberapa kali, karena jalannya penuh dengan batu tajam dan lumpur. Tapi, aku terus berlari. Agar aku dapat masuk kembali ke hotel. Aku berpikir keras dan agak bingung juga, karena semua pakaianku kotor. 


Sampai akhirnya aku berhasil menyusup ke tempat seperti laundry hotel. Ya! Aku berhasil berpakaian lengkap, bersih, dan tidak akan menimbulkan kecurigaan. Aku meneleponmu dari telepon umum yang ada di hotel. Dan ternyata kamu benar sedang ada di hotel yang sama, kamarmu tepat berseberangan dengan kamarku. Terdengar nadamu yang sangat terkejut saat kukatakan dalam beberapa menit aku akan ke kamarmu.


Setelah pintu kamarmu terbuka, aku langsung menghambur masuk ke dalam. Sambil terbaring  di tempat tidurmu. Rupanya kamu sedang berlibur bersama temanmu, di sana, Seoul. Aku ceritakan bagaimana aku bisa sampai ke tempatmu, dan saat itu, aku agak kecewa. Kalimat pertama yang terucap darimu, 
"Kenapa memaksa? Kalau memang tidak diizinkan untuk bertemu dengan siapapun, kenapa sampai memaksakan diri cuma untuk ketemu aku? Kenapa? Tidak usah memaksa ketemu, kalau keadaannya seperti ini!"
Padahal aku kira setelah aku ceritakan semua, kamu akan memelukku, sambil obati luka memar di lututku. Saat itu, aku tahu, kamu teramat penting di hatiku, tapi, aku, belum tentu sama pentingnya di hatimu. Saat itu, aku terpaku diam, mencerna ucapmu, dadaku sakit sekali rasanya. Mual, pening, sulit kugambarkan. 
****


Aku terbangun tengah malam, sekitar pukul 01.00, hujan amat deras diiringi suara petir yang menggelegar. Aku mendapati keadaanku saat itu tengah menangis, dan kuraba lututku, agak sakit, aku lihat, dan aku terkaget-kaget, ternyata mimpi itu telah meninggalkan luka memar di lututku. Ah, kemudian aku raba dadaku, aku periksa, ternyata agak membiru juga. Aku tidak sedang bercanda. Aku juga tidak main-main. Entahlah. Sesak sepertinya, setiap kali aku mengingat mimpi itu, padahal durasinya terhitung pendek. Tapi, menyiratkan hatiku yang terpojokkan, bahwa sedikitpun kamu tidak mengharapkan bertemu, apalagi merindukanku. Semoga itu hanya di dalam mimpi itu saja. Dan kamu tahu? Untuk menuliskan mimpi 3 malam yang lalu di sini, aku menangis mengingat semua kronologinya. Tapi, tidak mungkin aku lakukan itu jika kuceritakan langsung padamu, bahkan ada kemungkinan kamu menertawakanku. Dan kamu akan katakan "Jangan pikirkan yang tidak penting." Entahlah. Bahkan aku tidak tahu yang penting dan tidak penting itu seperti apa, sejak aku sadar aku begitu dalam menyayangimu, dan semua hal bagiku kini teramat penting. :*