Labels

daniera (118) kanazawa (7) nada (92) pengetahuan umum (6) profesi guru (1) puisi (16) skripsi (1)

Sabtu, 29 Desember 2012

Krawang-Bekasi - Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi


(1948) Brawidjaja, Jilid 7, No 16, 1957

Minggu, 23 Desember 2012

Telepon

Dev! Tadi teleponku diangkat, Dev! Aku senang sekali. Akhirnyaaa,... setelah kesekian kalinya, aku bisa mendengar suara itu lagi, lewat telepon.

Ya, aku tahu itu.

Dan... Tadi ada sekitar 6 menit aku bicara dengannya. Cukup lama kan, Dev? Haha.

Bukankah dulu satu jam pun tak cukup untuk kalian?

Ya sih. Tapi, tapi kali ini beda. Bahkan sepertinya itu adalah hal yang luar biasa untukku saat ini.

Kenapa? Kamu tak berani berpikir bahwa itu tak sengaja ia angkat? 6 menit itu tentang perjalanan, kan? Kuharap kamu ingat apa alasan yang disebutkannya tadi. Bukan untuk bersamamu.

Itu... Tadi dia memang katakan alasan lain, tapi itu... Menurutku itu hanya gurauan saja, dia katakan itu sambil tertawa, Dev...

Kamu selalu membuat pembelaan terhadapnya.

Aku terlalu mencintainya.

Kamis, 20 Desember 2012

Lebih dari Senyawa Karbon

Teringat percakapan dengan guru Kimia saat itu. Hmmm, sederhana saja, tak sengaja aku mendengarnya sedang menjelaskan tentang ikatan karbon. Dan tak kusangka, ternyata dia tahu aku sedang mendengarkannya, hihihi.

"Jadi, begitu kan, kak Dewi?"
"Apanya yang begitu, Kak?"
"Yaaa, itu, senyawa karbon, tunggal tuh menjenuhkan."
"Hmmm, itu pasti, kak. Dan ikatan rangkap itu adalah yang tidak jenuh."

Matanya mendelik. Sudah mulai terlihat dia mengajakku untuk berpuitis. Kemudian, akhirnya kuputuskan untuk meladeni apa yang ia mulai.

"Iya, benar, Kak. Dan sebagai guru Kimia mungkin Kakak lebih tau dari aku." Kemudian aku menarik napas sebentar, sebelum akhirnya kumelanjutkan. Dia kemudian memasang wajah serius, dengan cermat seperti menanti setiap kata dariku.

"Mungkin seperti sepi, dan sepi itu jenuh, dan seperti itulah ikatan tunggal dalam karbon. Ikatan rangkap memang akan membuat senyawa tak jenuh. Tetapi ada satu hal yang lebih penting dari itu, Kak.

Bahwa kita lebih dari senyawa karbon.

Jadi, permasalahannya bukan hanya tunggal atau rangkap, single atau double. Permasalahannya lebih kompleks dari itu, Kak. Kita lebih dari sekedar senyawa karbon."

Untuk beberapa detik, wajahnya seperti terpana dengan apa yang kukatakan. Dan kemudian dia bersorak keras sekali. Dan akhirnya dia tertawa, diikuti tawa riang pengajar-pengajar lain.

"Harusnya kau itu ambil master sastra di Belanda atau Perancis sana, Wi! Bukan ambil Fisika! Pandai sekali kau mengukir kata!"

"Hahaha, bisa saja. Semua kan Kau yang memulai, Kak!" dengan logat batak yang aku paksakan. Dan dia malah tertawa geli mendengarkan aku bicara seperti itu.

Jumat, 07 Desember 2012

UGD


Tidak seperti biasanya, sore ini aku mengemudikan mobil dengan ugal-ugalan. Kubunyikan klakson hampir pada setiap kendaraan yang ada di depanku. Tak peduli pada klakson balasan dari pengemudi lain yang aku dahului, pun pada banyak pengendara motor yang mengomel karena kaget dan risih dengan ulahku. Tujuanku satu, tiba secepatnya di RS Sari Asih Ciledug. Nama rumah sakit itu jelas terbaca pada pesan yang akhirnya terbalaskan setelah aku gelisah sepanjang hari ini.
****
Tempat bimbingan belajar ini masih sama seperti saat pertama kukenalkan kamu pada mereka, sebagai kakakku tentunya. Selalu ada tawa riang siswa yang akhirnya berhasil menyelesaikan tugas dari sekolah mereka, juga selalu ada canda dari staf dan pengajar lainnya. Namun, hari ini terasa berbeda. Setelah selesai mengajar, aku duduk-duduk dan membaca buku di ruang tunggu dekat receptionist, sambil sekali-kali melirik ponsel, menunggu pesan balasan darimu, yang sebelumnya memperkirakan akan tiba pukul 5 sore. Sampai satu jam berlalu dari pukul 5, semua siswa, pengajar, dan staf telah pulang, kecuali satu orang staf yang mendapat tugas piket sampai malam. Hari ini jadwal belajar memang hanya sampai pukul 5. Cahaya matahari sore pun berlalu dan berangsur mulai menyisipkan gelap.

“5 menit lagi, jalan macet, sabar ya. Kamu masih di Ganesha, kan?” Akhirnya kamu mengirim pesan.
“Iya, gak apa-apa, kak, aku masih di sini kok nunggu kakak.” Aku balas cepat.

Aku simpan buku yang sejak sore kubaca, sekarang aku hanya menoleh ke arah jendela luar, hanya ingin menunggu kamu. Mataku hanya terfokus pada pintu gerbang masuk, sampai akhirnya ada sorot lampu motor. Ah! pasti itu kamu. Aku tersenyum. Akhirnya aku bisa bersama kamu, berdua, bersama, setelah tiga bulan aku melewatkan dan menelantarkanmu. Begitulah ‘istilah’ yang kamu tudingkan padaku. Padahal aku hanya tidak ingin membuatmu khawatir pada skripsiku, dan aku tahu kesibukanmu melanjutkan studi di Bandung, juga sekedar ingin menyelesaikan tugas akhirku sendiri, karena kuyakin kamu membantuku di setiap doamu.
“Maaf, Kakak lupa, Jakarta sore hari itu macetnya luar biasa.”
“Iya, gak apa-apa. Kita main ke sebelah aja yuk, Kak?”
“Oh, boleh. Iya, jangan jauh-jauh, supaya waktu sama kamunya agak lama, hehe.”

Seperti biasa, matamu selalu berbinar saat bertemu. Tapi ada yang berbeda, tiga bulan tak berjumpa sepertinya kamu lebih gemuk, terlihat dari pipi kamu. Kamu mengenakan kaos abu-abu lengan panjang, berjaket jeans, tampilan sederhana yang menjadi ciri khas. Jika dilihat dari belakang, pasti tidak akan ada yang menyangka itu adalah kamu, kakakku, teman bermain, sahabatku.
“Mas Andi! Kenalkan ini teman aku, sekalian aku mau pamit pulang. Terima kasih ya.”

Setelah selesai berpamitan dengan staf yang kebagian tugas piket, aku bersegera memakirkan motor ke mall yang yang dekat dengan tempat bimbel ini, bersamamu.
“Kita minum coklat aja yuk, Kak?”
“Iya, kebetulan Kakak juga mau makan donut.”

Sepanjang jalan menuju kafe kugenggam tanganmu. Dingin, ya, dari dulu seperti itu. Kamu tidak kuat dingin.

Kamu tersenyum. Sambil menikmati coklat panas, matamu seperti sedang menimbang sesuatu yang akan dikatakan. Wajahmu terlihat semakin bersih. Tapi, agak pucat menurutku, mungkin pengaruh suasana malam dan dinginnya AC kafe. Aku menunggumu saja yang memulai bercerita.
“Kakak sayang, sayang banget. Kakak kangen, de.” Akhirnya kamu berkata.
“Aku udah tau, Kak, hehe.”

Sudah dapat kutebak, pasti kamu akan katakan kalimat itu. Seberapapun sering aku katakan sudah mengetahuinya, kamu tidak peduli, lalu kamu akan jawab sama seperti yang sudah kutahu pula. Dan merupakan jawaban yang manis, menurutku.

Aku tahu makna lebih berarti dari sekedar kata. Tapi jika kata dapat tumbuhkan makna dan perdalam rasa, maka aku akan katakannya sesering mungkin.

“Memangnya kamu nggak mau bilang sesuatu?”
“Sesuatu? Sesuatu apa? Memang Kakak mau aku bilang apa?”
“Ya... Kalimat yang sama, minimal.”
“Sekarang?”
“Ya. Sekarang. Sebelum nantinya menyesal.”
“Menyesal? Kenapa mesti ada penyesalan?”
“Entahlah. Setidaknya Sebelum Kakak pergi.” Kemudian bibirmu menyunggingkan senyum tajam.
“Pergi? Pergi ke mana?” Aku mulai tak sabar.
“Ya... Pergi jauh, hehe.” Kali ini kamu nyengir.
“Maksudnya? Jepangkah?” Aku benar-benar sudah tak sabar, apalagi melihat ekspresi mukamu yang jahil, melihatku bingung.
“Ya. Kakak lulus tes. Bulan depan berangkat.”
“Ah! Selamat ya, Kakak!”

Aku menghambur untuk memeluknya. Antara bahagia dan sedih tuk melepasnya. Di antara pelukan itu, aku bisikan padanya.
“Aku sayang Kakak. Kakak itu sahabat aku dan saudara aku, tentunya. Aku sayang Kakak.”

Kemudian kulihat keningmu sedikit berkerut,
“Kenapa?”
“Bangetnya, mana?”

Ah! Aku pikir kamu kenapa.
“Aku sayang Kakak, pake banget.”

Kemudian kamu dan aku tertawa bersama. Meluncur begitu saja cerita-ceritamu tentang proses seleksi administratif, kekesalanmu saat mengurus translasi ijazah, kemudian ketegangan saat memilih supervisor, melihat soal ujian, kebingunganmu pada saat wawancara, sampai pada pengumuman hasil tes. Sejujurnya aku bangga memilikimu, setidaknya sampai saat ini aku merasa memiliki hatimu. Dan semoga sampai nanti aku masih memiliki hatimu.

Setelah ceritamu tentang tes itu, kamu menunjukkan video. Video itu sesungguhnya terdiri dari banyak foto, seperti tampilan flash foto-foto, kamu bilang kamu yang mengeditnya, dengan memberikan narasi di setiap foto. Aku melihatnya. Aku melihat video itu. Ternyata isinya foto kamu, fotoku, foto kita, di saat-saat kuliah beberapa semester lalu. Melihat itu, kita tertawa bersama mengenang masa-masa saat aku yakin aku tidak akan pernah sendiri. Keyakinan itu datang karena hadirmu, tentu.

Tapi kebersamaan itu berubah. Menurutmu, akulah penyebabnya. Aku terlalu sering melewatkanmu. Sampai kemudian kamu katakan kamu sudah berjanji pada dirimu sendiri untuk tidak menghubungiku duluan, sebelum aku yang menyapamu. Sebegitunyakah aku berubah? Entahlah. Yang jelas aku masih menyayangi kamu, sebagai sahabat dan saudaraku.

Di tengah-tengah video itu ternyata kamu menyelipkan foto-foto saat kita bersepeda bersama, kehujanan bareng, dan lagu ‘Aku Suka Caramu’. Kemudian kita, entah siapa yang memulai, seolah-olah sedang memuat videoclip lagu itu. Tak peduli pengunjung kafe yang lain melihat atau tidak. Yang jelas aku suka itu. Di akhir putaran lagu, kita melakukan gerakan yang sama. Gerakan tangan layaknya saling menembak dengan dua pistol, namun pistol dilambangkan dengan jari telunjuk dan jempol. Begitu hangatnya kebersamaan kita saat itu.

Ternyata waktu terasa begitu cepat berlalu saat bersamamu. Kusadari malam dari bibirmu yang mulai bergetar kedinginan. Wajahmu tambah pucat. Aku putuskan untuk bersegera pulang. Sebelum berpisah, di parkiran motor itu, kamu memelukku, lebih erat dari biasanya. Sejak saat itu aku berjanji akan berusaha untuk memulai komunikasi lebih dulu, aku akan berusaha menyapamu terlebih dahulu.
****
“Aku ganti foto profil di facebook pake foto kita, ya Kak.”
Pesanku malam itu saat hendak beranjak tidur tak dibalas olehmu.
“Kak? Apa kabar pagi ini? J Love you...”
Pesanku pagi ini juga tak dibalas, mungkin kamu masih tidur. Tapi entah kenapa pagi ini, pikiranku penuh olehmu. Jangan-jangan aku baru sadar, aku juga sangat menyayangimu. Atau aku baru sadar, seharusnya semalam aku memelukmu lebih lama, sebelum kamu pergi jauh, melanjutkan studi di negeri Sakura.
“Dewi di RS Sari Asih di Ciledug. Tadi pagi jatuh. (Lisa, kakaknya).” Akhirnya ada pesan masuk dari nomor ponselmu.

Tanpa pikir panjang, aku ambil kunci mobil, bergegas pergi. Semua ingatanku tentang kamu, tentang semalam, tentang pembicaraan kita yang begitu hangat, tentang masa-masa itu, tentang kamu sekarang, di rumah sakit, semua bercampur. Pikiran-pikiran itu, kenangan-kenangan itu, mampu buat air mataku tak hentinya mengalir selama perjalanan ke rumah sakit.
****

Dalam ruangan itu, kamu terbaring, banyak perban membungkus kepalamu. Matamu terpejam. Mendesir kengerian dalam pikirku. Aku sentuh tanganmu. Aku genggam lembut, Kusentuh pipimu, aku akan mengatakannya, sebelum aku menyesal, begitu, kan, katamu? Begitu kan, inginmu? Mengapa kamu dapat berkata tentang penyesalan, semalam? Mengapa? Air mataku mengalir begitu saja. Aku, ya, aku yang merasa memilikimu.

“Aku sayang banget sama Kak Dewi.” Bisikku sesungguhnya tak lebih dari harapan kamu dapat dengarkan aku. Kamu pernah bilang kita adalah saudara sejiwa, kan? Kita pernah bicara tanpa kata, kan? Di lorong sepi, di lorong sepi kita bertemu. Kamu tidak akan pernah berhenti mencintaiku, kan?

Masih kugenggam jemarimu, rasanya dingin menyekat.

“Aku suka caramu, mencintaiku... Aku suka caramu, buatku tersenyum... Aku suka semua tentangmu...” Bahkan aku sendiri tak dapat dengar suaraku, di tengah isakku. Lagu itu... Kamu ikut bernyanyi denganku, kan?

Jemarimu tergerak, seperti membalas genggamku. Tanganku merasakan suatu yang hangat mengalir di pipimu, air matamu. Sebelum akhirnya aku harus keluar dari ruangan itu.
****
Aku tak percaya. Semalam kamu masih bersamaku. Semalam kita masih bermain telunjuk jempol bersama. Kamu bilang kamu akan melanjutkan studi di negeri Sakura, kan? Kamu bilang akan menungguku di sana? Kamu bilang, kamu cuma pergi sebentar, kan? Atau aku yang salah mendengar.

Maafkan aku melewatkanmu. Terlalu banyak kesempatan bersamamu yang kuabaikan. Jika saja aku tahu kamu akan pergi, tidak untuk setahun, tapi untuk selamanya, aku tentu akan katakan keras-keras, bahwa aku juga sangat menyeyangimu. Kamu adalah sahabat terbaikku. Kamu adalah kakak yang luar biasa bagiku. Kamu akan tetap menjadi bagian yang terbaik di hati ini.***

Lorong Sepi

...

Walau aku ragu, tapi aku putuskan untuk terus masuk menulusurinya. Lorong itu sepertinya panjang, kering, dan menyekap. Namun aku tak ingin kembali, belantara itu lebih menakutkan. Tapi, aku terlanjur masuk tanpa apa, tanpa siapa, sambil berharap kutemukan sesuatu di dalam sana, entah apa, kapan, dan di mana.

...

Belum sempat kubuka kelopak mata, gerakan tanganku mendahuluinya. Kusentuh luka. Mengeras, sepertinya ada yang membeku. Ternyata, dingin yang menyelubung membuat jalinan benang-benang fibrin cepat mengering. Tapi, perihnya masih kurasa.
Ketika aku benar-benar terjaga, mataku menangkap bayangan nyata. Aku masih terduduk, bersandar pada dinding lorong.

...

Saat itu aku merasa kuat. Ada kamu. Aku tidak lagi sendiri di lorong itu. Genangan air di tengah lorong tak akan mampu buatku terjatuh, karena genggammu. Erat, kuat, dan begitu kokoh, seperti tak terpisahkan. Pun tak akan mampu membuatku membeku, karena hadirmu begitu menghangatkan. 

...

daniera~Januari 2012

Minggu, 02 Desember 2012

Heaven - DJ Sammy

 Oh, thinking about all our younger years
There was only you and me
We were young and wild and free
Now nothing can take you away from me
We've been down that road before
But that's over now
You keep me coming back for more

Baby, you're all that I want
When you're lying here in my arms,
I'm finding it hard to believe
We're in heaven
And love is all that I need,
And I found it there in your heart
It isn't too hard to see
We're in heaven

Oh, once in your life you find someone
Who will turn your world around
Pick you up when your feeling down
Now nothing could change what you mean to me
There's a lot that I could say
But just hold me now
Cause our love will light the way

Baby you're all that I want
When you're lying here in my arms,
I'm finding it hard to believe
We're in heaven
And love is all that I need,
And I found it there in your heart
It isn't too hard to see
We're in heaven

I've been waiting for so long
For something to arrive
For love to come along
Now our dreams are coming true
Through the good times and the bad
I'll be standing there by you

Baby you're all that I want
When you're lying here in my arms
Im finding it hard to believe
We're in heaven
And love is all that I need,
And I found it there in your heart
It isn't too hard to see
We're in heaven
Oh, Oh
Oh, Oh
We're in heaven

Sabtu, 01 Desember 2012

Maafkan Aku

Maafkan aku, maafkan aku.
Maafkan aku atas luka yang kutorehkan. Andai saja aku
dapat kembali pada masa lalu, aku akan memilih untuk
tidak pernah mencintaimu, agar tidak harus kamu
rasakan luka. Dan aku? Akan menjadi diriku yang kaku.

Price Tag - Sabrina

Price Tag - Sabrina Cover, Original by Jesse


Seems like everybody's got a price,
I wonder how they sleep at night.
When the sale comes first,
And the truth comes second,
Just stop for a minute and
Smile


Why is everybody so serious?
Acting so damn mysterious?
Got your shades on your eyes
And your heels so high
That you can't even have a good time


Everybody look to their left
Everybody look to their right
Can you feel that (yeah)
We're paying with love tonight


It's not about the money, money, money
We don't need your money, money, money
We just wanna make the world dance,
Forget about the price tag
Ain't about the (uh) Cha-Ching Cha-Ching
Ain't about the (yeah) Ba-Bling Ba-Bling
Wanna make the world dance,
Forget about the price tag.


We need to take it back in time,
When music made us all unite
And it wasn't low blows and video hoes,
Am I the only one getting tired?


Why is everybody so obsessed?
Money can't buy us happiness
Can we all slow down and enjoy right now
Guarantee we'll be feeling alright


Everybody look to their left
Everybody look to their right
Can you feel that (yeah)
We're paying with love tonight


It's not about the money, money, money
We don't need your money, money, money
We just wanna make the world dance,
Forget about the price tag
Ain't about the (uh) Cha-Ching Cha-Ching
Ain't about the (yeah) Ba-Bling Ba-Bling
Wanna make the world dance,
Forget about the price tag.


Lalalalalalala hey
Lallalalalalla hey
Price tag
Lalalalalalala hey
Lallalalalalla hey
Price tag


It's not about the money, money, money
We don't need your money, money, money
We just wanna make the world dance,
Forget about the price tag
Ain't about the (uh) Cha-Ching Cha-Ching
Ain't about the (yeah) Ba-Bling Ba-Bling
Wanna make the world dance,
Forget about the price tag.

Money, money, money
Money, money, money
World dance forget about the price tag
Money, money, money
Money, money, money
World dance forget about the price tag