Rasanya... baru kemarin kamu datang ke rumahku.
Wajahmu yang bersinar dalam gelapnya malam,
perlihatkan peluhmu seharian yang aku tidak tahu.
Rasanya... baru kemarin kamu datang menghampiriku.
Membasuh luka, menyentuh sukma.
Ah! tidak, kamu tidak menghampiriku.
Aku yang terhanyut dalam pesonamu.
Rasanya baru kemarin kita saling bergandengan.
Erat, erat sekali, seperti tak akan terputuskan.
Rasanya baru kemarin kita saling berpelukan.
Kuat, kuat sekali, seperti tiada kan terpisahkan.
Rasanya baru kemarin kamu menangis di bawah jembatan.
Hatiku seperti hancur saat itu.
Masihkah kita menyatu?
Atau itu hanya anganku saja?
Masihkah kamu rasakanku?
Atau itu hanya harapku saja?
Aku mencintaimu dengan terlalu, kurasa kamu sudah tahu itu.
Aku merindukanmu selalu, kurasa kamu sudah tahu itu.
Tapi, tahukah kamu, aku menangis di setiap aku ingat kamu.
Tapi, percayakah kamu, air mataku keluar begitu saja,
begitu cepat di luar kuasaku, setiap aku lafalkan namamu.
Aku yang jatuh terlalu dalam.
Aku yang kini terlalu sakit rasakan semua.
Aku yang perih setiap malam memimpikanmu.
Aku yang terlalu merindukanmu.
Aku.... Aku benci keadaan seperti ini.
Kamu biarkan aku sakit.
Kamu biarkan aku sendiri.
Kamu biarkan aku menangis.
Kamu biarkan aku sesak, sulit bernapas.
Kamu biarkan aku terbunuh dalam sepi.
Kamu.... yang tak pedulikanku.
Rasanya baru kemarin kamu gaungkan istimewanya aku di hatimu.
Aku yang pertama istimewa, begitu katamu.
Rasanya baru kemarin kita tertawa bersama,
seperti mengalahkan semua lara.
Rasanya baru kemarin kita menangis bersama,
seperti saling merasakan luka,
yang terluka padamu, tentu berdarah padaku.
Aku, aku yang bersusah payah mengumpulkan
semua daya agar aku dapat tuliskan semua, namun aku gagal.
Aku tidak punya asa. Aku tidak berani. Aku takut sekali.
Inginku menghampirimu, mengejarmu, tapi aku takut.
Aku takut saat bertemu, kamu bersikap sama seperti sore itu.
Sore itu begitu memilukan.
Mengingatnya, meruntuhkan keberanianku.
Menghancurkan tekadku.
Rasanya... Baru kemarin.
Wajahmu yang bersinar dalam gelapnya malam,
perlihatkan peluhmu seharian yang aku tidak tahu.
Rasanya... baru kemarin kamu datang menghampiriku.
Membasuh luka, menyentuh sukma.
Ah! tidak, kamu tidak menghampiriku.
Aku yang terhanyut dalam pesonamu.
Rasanya baru kemarin kita saling bergandengan.
Erat, erat sekali, seperti tak akan terputuskan.
Rasanya baru kemarin kita saling berpelukan.
Kuat, kuat sekali, seperti tiada kan terpisahkan.
Rasanya baru kemarin kamu menangis di bawah jembatan.
Hatiku seperti hancur saat itu.
Masihkah kita menyatu?
Atau itu hanya anganku saja?
Masihkah kamu rasakanku?
Atau itu hanya harapku saja?
Aku mencintaimu dengan terlalu, kurasa kamu sudah tahu itu.
Aku merindukanmu selalu, kurasa kamu sudah tahu itu.
Tapi, tahukah kamu, aku menangis di setiap aku ingat kamu.
Tapi, percayakah kamu, air mataku keluar begitu saja,
begitu cepat di luar kuasaku, setiap aku lafalkan namamu.
Aku yang jatuh terlalu dalam.
Aku yang kini terlalu sakit rasakan semua.
Aku yang perih setiap malam memimpikanmu.
Aku yang terlalu merindukanmu.
Aku.... Aku benci keadaan seperti ini.
Kamu biarkan aku sakit.
Kamu biarkan aku sendiri.
Kamu biarkan aku menangis.
Kamu biarkan aku sesak, sulit bernapas.
Kamu biarkan aku terbunuh dalam sepi.
Kamu.... yang tak pedulikanku.
Rasanya baru kemarin kamu gaungkan istimewanya aku di hatimu.
Aku yang pertama istimewa, begitu katamu.
Rasanya baru kemarin kita tertawa bersama,
seperti mengalahkan semua lara.
Rasanya baru kemarin kita menangis bersama,
seperti saling merasakan luka,
yang terluka padamu, tentu berdarah padaku.
Aku, aku yang bersusah payah mengumpulkan
semua daya agar aku dapat tuliskan semua, namun aku gagal.
Aku tidak punya asa. Aku tidak berani. Aku takut sekali.
Inginku menghampirimu, mengejarmu, tapi aku takut.
Aku takut saat bertemu, kamu bersikap sama seperti sore itu.
Sore itu begitu memilukan.
Mengingatnya, meruntuhkan keberanianku.
Menghancurkan tekadku.
Rasanya... Baru kemarin.