JASSO, atau singkatan dari JApan Students Services Organization. Tiba-tiba saja di perpustakaan ITB, sambil menatap langit Bandung yang mendung, saya ingin menuliskan tentang ini...
Semua berawal saat siang tadi saya makan bersama dengan salah satu teman sekelas saya, di jurusan Magister Computational Science. Banyak hal yang kami bicarakan. Sampai kepada topik JASSO. Di Indonesia, JASSO dapat disamakan dengan DikTI atau DikNas, yah semacam itulah.
Kami membahas terkait dengan pendanaan Double Degree Program di Japan yang akan kami jalani, kebetulan teman saya dan saya lulus seleksi :). Mulai dari pelayanan, JASSO terkenal dengan kemudahan akses mendapatkan dana. Tidak pernah dipersulit. Tidak pernah terlambat. Jadi, jika kami mendapatkan pendanaan di Japan nanti dari JASSO, maka kami tentunya tidak akan khawatir saat-saat awal di Kanazawa University.
Setiap kelebihan tentunya ada kekurangan. Beasiswa dari Dikti ternyata sekitar 20rb Yen lebih banyak dari JASSO setiap bulannya. Tapi, tapi, tapi, beasiswa dari Dikti tersebut akan keluar kira-kira setelah 5 bulan di Japan. Whats? Dan 5 bulan awal di sana, dana dari mana? Menghutang tentunya! Hahaha. Agak miris, memang. Padahal terdengarnya masalah sepele, tetapi, tetap saja, yang terkait dari dalam negeri ada istilah 'rapel'. Jadi mungkin kebiasaan yang di turunkan dari orde lama atau orde baru mungkin (loh? kok jadi bahas sejarah). "Mengencangkan ikat pinggang." Atau istilahnya puasa untuk menahan lapar. Demi makan di kemudian hari. Hey! Hello! Sekarang sudah zaman... (zaman apa ya?). Pokoknya bukan zamannya lagi menahan lapar untuk makan di kemudian, menurut saya sekarang zamannya peningkatan gizi untuk mencapai SDM (SUmber Daya Manusia) yang lebih baik lagi! Supaya kita bisa benar-benar ikut berkontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan! Supaya demo kita tentang #SaveGaza itu tidak cuma angin lalu! Supaya... Ah! Banyak sekali! Memang beda, mental negara maju dengan negara yang cuma maunya maju. Sudahlah, kita lanjutkan.
Sampai pada obrolan tentang salah satu pejabat negara mengenai PPI (Persatuan Pelajar Indonesia). Bahwa pejabat negara tersebut dengan entengnya mengatakan bahwa mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri itu menghabiskan uang negara saja, tidak ada rasa nasionalismenya! Lebih baik dananya dipakai oleh para pejabat untuk kunjungan kerja ke laur negeri! Whats!!!! Membahas itu rasanya saya gondok pake banget.
Pertama, (sepengalaman saya menempuh pendidikan SD s.d. S1) pemerintah itu kurang perhatian, kurang penghargaan kepada yang namanya prestasi yang terkait ilmu pengetahuan. Padahal, padahal.... Bahkan seingat saya, dulu, sewaktu saya SMA, tim Olimpiade Matematika Indonesia tuh sampe telat berangkat untuk Olimpiade internasional gara-gara kelalaian pengurusan administrasi dan dipersulitnya keberangkatan! Bukan oleh siapa2 loh! Oleh bagian pemerintah sendiri! (Nah, bersyukur saya, waktu itu gak kepilih jd tim olimpiadenya, kalo kepilih, bisa-bisa saya gondoknya sampe pindah ke luar aje deh, hehe)
Kedua, biaya perjalanan untuk kunjungan kerja pejabat itu jauh-jauh-jauh lebih menghabiskan uang, dan hasilnya? Tetap! Tetap saja mata uang rupiah lebih rendah dari mata uang negara lain. fufufufu. Tetap saja peniti harus mengimpor. Tetap saja korupsi (ndak usahlah yah, bahas-bahas korupsi). Tetap saja terjadi keningnangan atau kesenjangan ekonomi. Tetap saja, banyaaaaak masalah nya ini Indonesia yang aku cinta.... Tetap saja Timnas kita kalah (loh?) Iyalah, gimana mau main dengan baik kalau semua serba dipolitisi! Lagipula, kunjungan kerja pejabat selama dua minggu kalau dihitung-hitung sama setara dengan biaya hidup pelajar indonesia di luar negeri selama 6 bulan! sekali lagi, 6 bulan! Dan kami (saya jg nanti, insya Allah) mahasiswa / pelajar di luar negeri, gak cuma duduk diem di kelas! Kami aktif melakukan penelitian, kami juga berusaha mengerti culture mereka (negara lain). Kami punya cita-cita, saat kembali, kami dapat membuat Indonesia lebih baik! Itu cita-cita kami! Sedangkan mereka? Entahlah semua sudah menjadi modus, menurut saya.
Ketiga, dan seterusnya mungkin kapan-kapan dilanjutkan lagi, karena saya sudah pegel ngetik, hehe.
Back to JASSO, pemerintah seperti Jepang (dan mungkin negara lain) ternyata sangat perhatian dengan masalah kecil seperti kehadiran mahasiswa asing di negeri mereka. Ada persyaratan minimal apartemen yang boleh dihuni atau disewa oleh mahasiswa asing. Khusus kampus saya, tidak boleh di apartemen murah, karena dikhawatirkan mengganggu konsentrasi belajar mahasiswa. Dan mengenai rapelan? Saya juga gak ngerti kenapa mesti dirapel, jangan-jangan dibungakan dulu, atau didepositokan dulu (Suudzon ya, saya? astagfirullah), entahlah.
Semua berawal saat siang tadi saya makan bersama dengan salah satu teman sekelas saya, di jurusan Magister Computational Science. Banyak hal yang kami bicarakan. Sampai kepada topik JASSO. Di Indonesia, JASSO dapat disamakan dengan DikTI atau DikNas, yah semacam itulah.
Kami membahas terkait dengan pendanaan Double Degree Program di Japan yang akan kami jalani, kebetulan teman saya dan saya lulus seleksi :). Mulai dari pelayanan, JASSO terkenal dengan kemudahan akses mendapatkan dana. Tidak pernah dipersulit. Tidak pernah terlambat. Jadi, jika kami mendapatkan pendanaan di Japan nanti dari JASSO, maka kami tentunya tidak akan khawatir saat-saat awal di Kanazawa University.
Setiap kelebihan tentunya ada kekurangan. Beasiswa dari Dikti ternyata sekitar 20rb Yen lebih banyak dari JASSO setiap bulannya. Tapi, tapi, tapi, beasiswa dari Dikti tersebut akan keluar kira-kira setelah 5 bulan di Japan. Whats? Dan 5 bulan awal di sana, dana dari mana? Menghutang tentunya! Hahaha. Agak miris, memang. Padahal terdengarnya masalah sepele, tetapi, tetap saja, yang terkait dari dalam negeri ada istilah 'rapel'. Jadi mungkin kebiasaan yang di turunkan dari orde lama atau orde baru mungkin (loh? kok jadi bahas sejarah). "Mengencangkan ikat pinggang." Atau istilahnya puasa untuk menahan lapar. Demi makan di kemudian hari. Hey! Hello! Sekarang sudah zaman... (zaman apa ya?). Pokoknya bukan zamannya lagi menahan lapar untuk makan di kemudian, menurut saya sekarang zamannya peningkatan gizi untuk mencapai SDM (SUmber Daya Manusia) yang lebih baik lagi! Supaya kita bisa benar-benar ikut berkontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan! Supaya demo kita tentang #SaveGaza itu tidak cuma angin lalu! Supaya... Ah! Banyak sekali! Memang beda, mental negara maju dengan negara yang cuma maunya maju. Sudahlah, kita lanjutkan.
Sampai pada obrolan tentang salah satu pejabat negara mengenai PPI (Persatuan Pelajar Indonesia). Bahwa pejabat negara tersebut dengan entengnya mengatakan bahwa mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri itu menghabiskan uang negara saja, tidak ada rasa nasionalismenya! Lebih baik dananya dipakai oleh para pejabat untuk kunjungan kerja ke laur negeri! Whats!!!! Membahas itu rasanya saya gondok pake banget.
Pertama, (sepengalaman saya menempuh pendidikan SD s.d. S1) pemerintah itu kurang perhatian, kurang penghargaan kepada yang namanya prestasi yang terkait ilmu pengetahuan. Padahal, padahal.... Bahkan seingat saya, dulu, sewaktu saya SMA, tim Olimpiade Matematika Indonesia tuh sampe telat berangkat untuk Olimpiade internasional gara-gara kelalaian pengurusan administrasi dan dipersulitnya keberangkatan! Bukan oleh siapa2 loh! Oleh bagian pemerintah sendiri! (Nah, bersyukur saya, waktu itu gak kepilih jd tim olimpiadenya, kalo kepilih, bisa-bisa saya gondoknya sampe pindah ke luar aje deh, hehe)
Kedua, biaya perjalanan untuk kunjungan kerja pejabat itu jauh-jauh-jauh lebih menghabiskan uang, dan hasilnya? Tetap! Tetap saja mata uang rupiah lebih rendah dari mata uang negara lain. fufufufu. Tetap saja peniti harus mengimpor. Tetap saja korupsi (ndak usahlah yah, bahas-bahas korupsi). Tetap saja terjadi keningnangan atau kesenjangan ekonomi. Tetap saja, banyaaaaak masalah nya ini Indonesia yang aku cinta.... Tetap saja Timnas kita kalah (loh?) Iyalah, gimana mau main dengan baik kalau semua serba dipolitisi! Lagipula, kunjungan kerja pejabat selama dua minggu kalau dihitung-hitung sama setara dengan biaya hidup pelajar indonesia di luar negeri selama 6 bulan! sekali lagi, 6 bulan! Dan kami (saya jg nanti, insya Allah) mahasiswa / pelajar di luar negeri, gak cuma duduk diem di kelas! Kami aktif melakukan penelitian, kami juga berusaha mengerti culture mereka (negara lain). Kami punya cita-cita, saat kembali, kami dapat membuat Indonesia lebih baik! Itu cita-cita kami! Sedangkan mereka? Entahlah semua sudah menjadi modus, menurut saya.
Ketiga, dan seterusnya mungkin kapan-kapan dilanjutkan lagi, karena saya sudah pegel ngetik, hehe.
Back to JASSO, pemerintah seperti Jepang (dan mungkin negara lain) ternyata sangat perhatian dengan masalah kecil seperti kehadiran mahasiswa asing di negeri mereka. Ada persyaratan minimal apartemen yang boleh dihuni atau disewa oleh mahasiswa asing. Khusus kampus saya, tidak boleh di apartemen murah, karena dikhawatirkan mengganggu konsentrasi belajar mahasiswa. Dan mengenai rapelan? Saya juga gak ngerti kenapa mesti dirapel, jangan-jangan dibungakan dulu, atau didepositokan dulu (Suudzon ya, saya? astagfirullah), entahlah.