Labels

daniera (118) kanazawa (7) nada (92) pengetahuan umum (6) profesi guru (1) puisi (16) skripsi (1)

Jumat, 07 Desember 2012

UGD


Tidak seperti biasanya, sore ini aku mengemudikan mobil dengan ugal-ugalan. Kubunyikan klakson hampir pada setiap kendaraan yang ada di depanku. Tak peduli pada klakson balasan dari pengemudi lain yang aku dahului, pun pada banyak pengendara motor yang mengomel karena kaget dan risih dengan ulahku. Tujuanku satu, tiba secepatnya di RS Sari Asih Ciledug. Nama rumah sakit itu jelas terbaca pada pesan yang akhirnya terbalaskan setelah aku gelisah sepanjang hari ini.
****
Tempat bimbingan belajar ini masih sama seperti saat pertama kukenalkan kamu pada mereka, sebagai kakakku tentunya. Selalu ada tawa riang siswa yang akhirnya berhasil menyelesaikan tugas dari sekolah mereka, juga selalu ada canda dari staf dan pengajar lainnya. Namun, hari ini terasa berbeda. Setelah selesai mengajar, aku duduk-duduk dan membaca buku di ruang tunggu dekat receptionist, sambil sekali-kali melirik ponsel, menunggu pesan balasan darimu, yang sebelumnya memperkirakan akan tiba pukul 5 sore. Sampai satu jam berlalu dari pukul 5, semua siswa, pengajar, dan staf telah pulang, kecuali satu orang staf yang mendapat tugas piket sampai malam. Hari ini jadwal belajar memang hanya sampai pukul 5. Cahaya matahari sore pun berlalu dan berangsur mulai menyisipkan gelap.

“5 menit lagi, jalan macet, sabar ya. Kamu masih di Ganesha, kan?” Akhirnya kamu mengirim pesan.
“Iya, gak apa-apa, kak, aku masih di sini kok nunggu kakak.” Aku balas cepat.

Aku simpan buku yang sejak sore kubaca, sekarang aku hanya menoleh ke arah jendela luar, hanya ingin menunggu kamu. Mataku hanya terfokus pada pintu gerbang masuk, sampai akhirnya ada sorot lampu motor. Ah! pasti itu kamu. Aku tersenyum. Akhirnya aku bisa bersama kamu, berdua, bersama, setelah tiga bulan aku melewatkan dan menelantarkanmu. Begitulah ‘istilah’ yang kamu tudingkan padaku. Padahal aku hanya tidak ingin membuatmu khawatir pada skripsiku, dan aku tahu kesibukanmu melanjutkan studi di Bandung, juga sekedar ingin menyelesaikan tugas akhirku sendiri, karena kuyakin kamu membantuku di setiap doamu.
“Maaf, Kakak lupa, Jakarta sore hari itu macetnya luar biasa.”
“Iya, gak apa-apa. Kita main ke sebelah aja yuk, Kak?”
“Oh, boleh. Iya, jangan jauh-jauh, supaya waktu sama kamunya agak lama, hehe.”

Seperti biasa, matamu selalu berbinar saat bertemu. Tapi ada yang berbeda, tiga bulan tak berjumpa sepertinya kamu lebih gemuk, terlihat dari pipi kamu. Kamu mengenakan kaos abu-abu lengan panjang, berjaket jeans, tampilan sederhana yang menjadi ciri khas. Jika dilihat dari belakang, pasti tidak akan ada yang menyangka itu adalah kamu, kakakku, teman bermain, sahabatku.
“Mas Andi! Kenalkan ini teman aku, sekalian aku mau pamit pulang. Terima kasih ya.”

Setelah selesai berpamitan dengan staf yang kebagian tugas piket, aku bersegera memakirkan motor ke mall yang yang dekat dengan tempat bimbel ini, bersamamu.
“Kita minum coklat aja yuk, Kak?”
“Iya, kebetulan Kakak juga mau makan donut.”

Sepanjang jalan menuju kafe kugenggam tanganmu. Dingin, ya, dari dulu seperti itu. Kamu tidak kuat dingin.

Kamu tersenyum. Sambil menikmati coklat panas, matamu seperti sedang menimbang sesuatu yang akan dikatakan. Wajahmu terlihat semakin bersih. Tapi, agak pucat menurutku, mungkin pengaruh suasana malam dan dinginnya AC kafe. Aku menunggumu saja yang memulai bercerita.
“Kakak sayang, sayang banget. Kakak kangen, de.” Akhirnya kamu berkata.
“Aku udah tau, Kak, hehe.”

Sudah dapat kutebak, pasti kamu akan katakan kalimat itu. Seberapapun sering aku katakan sudah mengetahuinya, kamu tidak peduli, lalu kamu akan jawab sama seperti yang sudah kutahu pula. Dan merupakan jawaban yang manis, menurutku.

Aku tahu makna lebih berarti dari sekedar kata. Tapi jika kata dapat tumbuhkan makna dan perdalam rasa, maka aku akan katakannya sesering mungkin.

“Memangnya kamu nggak mau bilang sesuatu?”
“Sesuatu? Sesuatu apa? Memang Kakak mau aku bilang apa?”
“Ya... Kalimat yang sama, minimal.”
“Sekarang?”
“Ya. Sekarang. Sebelum nantinya menyesal.”
“Menyesal? Kenapa mesti ada penyesalan?”
“Entahlah. Setidaknya Sebelum Kakak pergi.” Kemudian bibirmu menyunggingkan senyum tajam.
“Pergi? Pergi ke mana?” Aku mulai tak sabar.
“Ya... Pergi jauh, hehe.” Kali ini kamu nyengir.
“Maksudnya? Jepangkah?” Aku benar-benar sudah tak sabar, apalagi melihat ekspresi mukamu yang jahil, melihatku bingung.
“Ya. Kakak lulus tes. Bulan depan berangkat.”
“Ah! Selamat ya, Kakak!”

Aku menghambur untuk memeluknya. Antara bahagia dan sedih tuk melepasnya. Di antara pelukan itu, aku bisikan padanya.
“Aku sayang Kakak. Kakak itu sahabat aku dan saudara aku, tentunya. Aku sayang Kakak.”

Kemudian kulihat keningmu sedikit berkerut,
“Kenapa?”
“Bangetnya, mana?”

Ah! Aku pikir kamu kenapa.
“Aku sayang Kakak, pake banget.”

Kemudian kamu dan aku tertawa bersama. Meluncur begitu saja cerita-ceritamu tentang proses seleksi administratif, kekesalanmu saat mengurus translasi ijazah, kemudian ketegangan saat memilih supervisor, melihat soal ujian, kebingunganmu pada saat wawancara, sampai pada pengumuman hasil tes. Sejujurnya aku bangga memilikimu, setidaknya sampai saat ini aku merasa memiliki hatimu. Dan semoga sampai nanti aku masih memiliki hatimu.

Setelah ceritamu tentang tes itu, kamu menunjukkan video. Video itu sesungguhnya terdiri dari banyak foto, seperti tampilan flash foto-foto, kamu bilang kamu yang mengeditnya, dengan memberikan narasi di setiap foto. Aku melihatnya. Aku melihat video itu. Ternyata isinya foto kamu, fotoku, foto kita, di saat-saat kuliah beberapa semester lalu. Melihat itu, kita tertawa bersama mengenang masa-masa saat aku yakin aku tidak akan pernah sendiri. Keyakinan itu datang karena hadirmu, tentu.

Tapi kebersamaan itu berubah. Menurutmu, akulah penyebabnya. Aku terlalu sering melewatkanmu. Sampai kemudian kamu katakan kamu sudah berjanji pada dirimu sendiri untuk tidak menghubungiku duluan, sebelum aku yang menyapamu. Sebegitunyakah aku berubah? Entahlah. Yang jelas aku masih menyayangi kamu, sebagai sahabat dan saudaraku.

Di tengah-tengah video itu ternyata kamu menyelipkan foto-foto saat kita bersepeda bersama, kehujanan bareng, dan lagu ‘Aku Suka Caramu’. Kemudian kita, entah siapa yang memulai, seolah-olah sedang memuat videoclip lagu itu. Tak peduli pengunjung kafe yang lain melihat atau tidak. Yang jelas aku suka itu. Di akhir putaran lagu, kita melakukan gerakan yang sama. Gerakan tangan layaknya saling menembak dengan dua pistol, namun pistol dilambangkan dengan jari telunjuk dan jempol. Begitu hangatnya kebersamaan kita saat itu.

Ternyata waktu terasa begitu cepat berlalu saat bersamamu. Kusadari malam dari bibirmu yang mulai bergetar kedinginan. Wajahmu tambah pucat. Aku putuskan untuk bersegera pulang. Sebelum berpisah, di parkiran motor itu, kamu memelukku, lebih erat dari biasanya. Sejak saat itu aku berjanji akan berusaha untuk memulai komunikasi lebih dulu, aku akan berusaha menyapamu terlebih dahulu.
****
“Aku ganti foto profil di facebook pake foto kita, ya Kak.”
Pesanku malam itu saat hendak beranjak tidur tak dibalas olehmu.
“Kak? Apa kabar pagi ini? J Love you...”
Pesanku pagi ini juga tak dibalas, mungkin kamu masih tidur. Tapi entah kenapa pagi ini, pikiranku penuh olehmu. Jangan-jangan aku baru sadar, aku juga sangat menyayangimu. Atau aku baru sadar, seharusnya semalam aku memelukmu lebih lama, sebelum kamu pergi jauh, melanjutkan studi di negeri Sakura.
“Dewi di RS Sari Asih di Ciledug. Tadi pagi jatuh. (Lisa, kakaknya).” Akhirnya ada pesan masuk dari nomor ponselmu.

Tanpa pikir panjang, aku ambil kunci mobil, bergegas pergi. Semua ingatanku tentang kamu, tentang semalam, tentang pembicaraan kita yang begitu hangat, tentang masa-masa itu, tentang kamu sekarang, di rumah sakit, semua bercampur. Pikiran-pikiran itu, kenangan-kenangan itu, mampu buat air mataku tak hentinya mengalir selama perjalanan ke rumah sakit.
****

Dalam ruangan itu, kamu terbaring, banyak perban membungkus kepalamu. Matamu terpejam. Mendesir kengerian dalam pikirku. Aku sentuh tanganmu. Aku genggam lembut, Kusentuh pipimu, aku akan mengatakannya, sebelum aku menyesal, begitu, kan, katamu? Begitu kan, inginmu? Mengapa kamu dapat berkata tentang penyesalan, semalam? Mengapa? Air mataku mengalir begitu saja. Aku, ya, aku yang merasa memilikimu.

“Aku sayang banget sama Kak Dewi.” Bisikku sesungguhnya tak lebih dari harapan kamu dapat dengarkan aku. Kamu pernah bilang kita adalah saudara sejiwa, kan? Kita pernah bicara tanpa kata, kan? Di lorong sepi, di lorong sepi kita bertemu. Kamu tidak akan pernah berhenti mencintaiku, kan?

Masih kugenggam jemarimu, rasanya dingin menyekat.

“Aku suka caramu, mencintaiku... Aku suka caramu, buatku tersenyum... Aku suka semua tentangmu...” Bahkan aku sendiri tak dapat dengar suaraku, di tengah isakku. Lagu itu... Kamu ikut bernyanyi denganku, kan?

Jemarimu tergerak, seperti membalas genggamku. Tanganku merasakan suatu yang hangat mengalir di pipimu, air matamu. Sebelum akhirnya aku harus keluar dari ruangan itu.
****
Aku tak percaya. Semalam kamu masih bersamaku. Semalam kita masih bermain telunjuk jempol bersama. Kamu bilang kamu akan melanjutkan studi di negeri Sakura, kan? Kamu bilang akan menungguku di sana? Kamu bilang, kamu cuma pergi sebentar, kan? Atau aku yang salah mendengar.

Maafkan aku melewatkanmu. Terlalu banyak kesempatan bersamamu yang kuabaikan. Jika saja aku tahu kamu akan pergi, tidak untuk setahun, tapi untuk selamanya, aku tentu akan katakan keras-keras, bahwa aku juga sangat menyeyangimu. Kamu adalah sahabat terbaikku. Kamu adalah kakak yang luar biasa bagiku. Kamu akan tetap menjadi bagian yang terbaik di hati ini.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar