Aku akan menyampaikan melalui tulisan ini,
karena sudah tiada asa tuk menerima hadirmu dalam tiadamu.
Sungguh tiada alasan yang buatku menghalanginya, karena
aku telah menjadi buku yang terbuka di matamu.
Fajar datang, menyadarkanku untuk segera terjaga.
Mengingatkanku untuk segera berserah pada-Nya.
Adalah hal yang sungguh tersia jika kulanjutkan
kepiluan atas dirimu, yang tak kunjung mengatakan.
Maka aku putuskan tuk menyapa mentari.
Kemudian bersahabat dengan matahari.
karena sudah tiada asa tuk menerima hadirmu dalam tiadamu.
Sungguh tiada alasan yang buatku menghalanginya, karena
aku telah menjadi buku yang terbuka di matamu.
Fajar datang, menyadarkanku untuk segera terjaga.
Mengingatkanku untuk segera berserah pada-Nya.
Adalah hal yang sungguh tersia jika kulanjutkan
kepiluan atas dirimu, yang tak kunjung mengatakan.
Maka aku putuskan tuk menyapa mentari.
Kemudian bersahabat dengan matahari.
Jelas, inginku adalah menguapkan rindu itu,
Berharap rindu itu menguap, seiring
dengan persahabatanku bersama mentari.
Daya yang kukerahkan, semata agar aku kuat.
Kuat untuk tidak menangisi kerinduanku padamu,
yang begitu besarnya, yang tiada pernah terbalas.
Dan ternyata aku berhasil.
Mereka, tiada kan pernah melihat tangisku.
Air mataku tersapu habis oleh sengatan matahari.
Jika sebentar saja kuingat kamu,
jika sesaat saja aku sadar kurindukanmu,
dan aku tak mampu membendung air mataku,
maka aku tidak perlu khawatir.
Mereka toh tidak akan pernah melihat piluku,
mereka tidak bisa melihat air mataku,
karena persahabatanku dengan mentari
membuatnya telah menjadi terlalu cepat mengering.
Tetapi itu bagi mereka.
Bagiku...
Saat mentari itu perlahan meninggalkanku.
Ketika sinarnya tak lagi menyengat peluhku,
tak lagi menguapkan tangisku.
Aku tersadar tiada kan pernah bisa lupakanmu.
Aku tersadar tiada kan habis rindu untukmu.
Saat itu aku tahu aku gagal.
Aku melakukan hal sia-sia tuk hapuskan rindu.
Karena uap itu begitu cepat mengembun,
seiring senja mengalihkan mentari pada peraduan bulan.
Saat pekat mengelilingiku, aku bertanya.
Apakah kamu mendengar suara hatiku,
yang selalu memanggil namamu,
dan kemudian coba tuk menggemakan rinduku.
Terdengarkah gema rinduku?
Atau hanya gaungan tak jelas dan kau abaikan.
Seperti kamu mengabaikanku.
Seperti kamu mengacuhkanku.
Atau mungkin aku sedang berkhayal.
Bahwa aku menemukan frekuensi yang tepat,
hingga hatiku dan hatimu dapat beresonansi,
hingga kamu tahu aku selalu rindukanmu,
hingga kamu tahu aku inginkan bertemu,
hingga aku juga dengar kamu katakan rindu,
hingga aku tahu kamu inginkan pelukku,
hingga....
Ternyata keberadaan pekat begitu panjang kurasa,
lebih lama dari persahabatanku dengan mentari.
Haruskah aku bersahabat jua dengan pekat?
Membentuk embun lebih banyak dari yang ku uapkan?
Lalu mengumpulkannya, menyimpannya,
sebagai suatu rutinitas yang tak dapat kuhindarkan.
Dan apakah kamu mengetahuinya,
bahwa aku melakukannya,
benar-benar melakukannya.
Embun itu terlalu cepat terkumpul.
Embun itu terlalu banyak dari yang kukira.
Embun itu adalah rinduku.
Membentuk telaga, yang aku sendiri
tidak bisa menguasai jumlah air di dalamnya.
Rindu itu begitu cepat menelaga.
Bahkan seandainya,
kamu memelukku dengan eratnya.
Tiada kan pernah habis rinduku yang menelaga itu.
Aku selalu merindukanmu,
selalu mencintaimu,
dan tiadalah kan berhenti,
sampai peluh itu benar-benar
membuat jantungku terhenti.
Dari Keranjang Besar
Berharap rindu itu menguap, seiring
dengan persahabatanku bersama mentari.
Daya yang kukerahkan, semata agar aku kuat.
Kuat untuk tidak menangisi kerinduanku padamu,
yang begitu besarnya, yang tiada pernah terbalas.
Dan ternyata aku berhasil.
Mereka, tiada kan pernah melihat tangisku.
Air mataku tersapu habis oleh sengatan matahari.
Jika sebentar saja kuingat kamu,
jika sesaat saja aku sadar kurindukanmu,
dan aku tak mampu membendung air mataku,
maka aku tidak perlu khawatir.
Mereka toh tidak akan pernah melihat piluku,
mereka tidak bisa melihat air mataku,
karena persahabatanku dengan mentari
membuatnya telah menjadi terlalu cepat mengering.
Tetapi itu bagi mereka.
Bagiku...
Saat mentari itu perlahan meninggalkanku.
Ketika sinarnya tak lagi menyengat peluhku,
tak lagi menguapkan tangisku.
Aku tersadar tiada kan pernah bisa lupakanmu.
Aku tersadar tiada kan habis rindu untukmu.
Saat itu aku tahu aku gagal.
Aku melakukan hal sia-sia tuk hapuskan rindu.
Karena uap itu begitu cepat mengembun,
seiring senja mengalihkan mentari pada peraduan bulan.
Saat pekat mengelilingiku, aku bertanya.
Apakah kamu mendengar suara hatiku,
yang selalu memanggil namamu,
dan kemudian coba tuk menggemakan rinduku.
Terdengarkah gema rinduku?
Atau hanya gaungan tak jelas dan kau abaikan.
Seperti kamu mengabaikanku.
Seperti kamu mengacuhkanku.
Atau mungkin aku sedang berkhayal.
Bahwa aku menemukan frekuensi yang tepat,
hingga hatiku dan hatimu dapat beresonansi,
hingga kamu tahu aku selalu rindukanmu,
hingga kamu tahu aku inginkan bertemu,
hingga aku juga dengar kamu katakan rindu,
hingga aku tahu kamu inginkan pelukku,
hingga....
Ternyata keberadaan pekat begitu panjang kurasa,
lebih lama dari persahabatanku dengan mentari.
Haruskah aku bersahabat jua dengan pekat?
Membentuk embun lebih banyak dari yang ku uapkan?
Lalu mengumpulkannya, menyimpannya,
sebagai suatu rutinitas yang tak dapat kuhindarkan.
Dan apakah kamu mengetahuinya,
bahwa aku melakukannya,
benar-benar melakukannya.
Embun itu terlalu cepat terkumpul.
Embun itu terlalu banyak dari yang kukira.
Embun itu adalah rinduku.
Membentuk telaga, yang aku sendiri
tidak bisa menguasai jumlah air di dalamnya.
Rindu itu begitu cepat menelaga.
Bahkan seandainya,
kamu memelukku dengan eratnya.
Tiada kan pernah habis rinduku yang menelaga itu.
Aku selalu merindukanmu,
selalu mencintaimu,
dan tiadalah kan berhenti,
sampai peluh itu benar-benar
membuat jantungku terhenti.
Dari Keranjang Besar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar