Labels

daniera (118) kanazawa (7) nada (92) pengetahuan umum (6) profesi guru (1) puisi (16) skripsi (1)

Rabu, 30 November 2011

Mommy, You Give Color to My Soul


Jumat pagi yang cerah di bulan Juli 2004, aku dan ibuku berjalan agak tergesa menuju gedung sekolah bercat warna hijau bertuliskan SMA Negeri 6 Pandeglang. Ya, saat itu aku bermaksud untuk mendaftar di SMA karena baru saja aku lulus dan menerima ijazah dari SMP 219 Jakarta. Tak disangka ternyata hari itu pendaftaran sudah tutup dan di hari itu juga merupakan hari terakhir daftar ulang SMA. Sesungguhnya aku panik, kakiku lemas. Bagaimana tidak? Ijazah SMP yang baru saja kuterima di hari Kamis pagi, sorenya langsung kubawa ke Pandeglang, bersama dengan ibuku, dan ternyata pendaftarannya sudah tutup sejak seminggu yang lalu. Kesal, kecewa, ingin rasanya menangis saat itu juga, namun aku tak mau terlihat terpukul di dekat ibuku, karena aku tahu, banyak hal terjadi dalam kehidupan keluargaku saat itu dan tidak sedikit yang buat hatinya hancur.

Sedikit memohon, ibuku berbicara banyak hal pada panitia penerimaan siswa baru yang sepertinya juga guru di sekolah itu. Namun, apa dikata, mereka benar-benar tidak berminat bahkan untuk melirik nilai ijazahku, apalagi nilai raporku. Terlebih saat ibuku sedikit mengulas kondisi keluarga.
"Kepala sekolah kami sedang tidak ada. Kalo saja ada, mungkin Ibu bisa berlobi dengan beliau, tapi kepala sekolah memang benar-benar tidak ada."
"Lalu bagaimana dengan nasib anak saya? Kira-kira ada sekolah dekat sini yang masih menerima pendaftaran, Pak?"
"Coba Ibu ke jalan di bawah. Coba saja SMA yang di bawah sana, siapa tahu mereka mau menerima anak Ibu."
"Kalo begitu saya pamit, terimakasih Pak."

Tak perlu memohon lebih lama di sekolah itu, aku dan ibuku berjalan dengan tergesa ke sekolah yang ditunjuk oleh Bapak tadi, mengingat itu adalah hari Jumat dan jam sudah menunjukkan pukul 10.00. Sudah merupakan hal yang biasa di daerah Pandeglang, yang dikenal sebagai kota santri, di hari Jumat pasti kaum laki-laki akan bersiap ke masjid lebih awal. Sempat shock begitu melihat plang. Tertulis "SMAN 2 Pandeglang" Namun, tiada terlihat seperti sekolah, yang ada hanya bangunan yang hampir roboh, dan lahan kosong. Aku terenyuh. Namun, perasaan lega kembali kurasa sesaat setelah kemudian menengok ke sebelah kanan, ternyata plang itu hanya plang. Bangunan sekolah yang sesungguhnya bukan yang ada di belakang plang. Ya, plang itu hanya semacam menjadi petunjuk di tikungan saja, bahwa ada sekolah di posisi yang memojok dan agak ke bawah memang.

Tiba di ruang panitia, ibuku banyak bercakap kepada panitia, dan jawaban yang diterima, tidaklah jauh beda dengan sekolah sebelumnya yang aku kunjungi. Panitia di ruang itu agak bersantai, karena di SMAN 2 Pandeglang hari itu merupakan hari terakhir daftar ulang. Namun, setelah ibuku benar-benar menunjukkan sikap memohonnya, seorang panitia, yang terlihat jelas sekali, dia adalah guru, menghampiri, kemudian menanyakan nilai ijazahku. Kulihat muka ibu yang mengenakan blezer berwarna kuning, dan style jilbab yang berbeda dari umumnya itu, agak tercekat lama memandangi nilai-nilaiku di fotokopi ijazah itu. Sampai akhirnya berkata kepada ibuku.
"Bisa saya lihat nilai rapor anak Ibu?"
"Oh, iya, ada, saya membawanya."

Ibu itu, lama memandangi seluruh halaman raporku, sambil dalam hati aku terus berdoa supaya ada saja belas kasihannya padaku, karena aku memang benar-benar ingin melanjutkan sekolah, tak ingin terhenti walau hanya setahun. Dia menghampiri panitia lain, Bapak-bapak semuanya, ya, setelah kuperhatikan ruangan itu, ternyata ibu itu hanya wanita seorang yang menjadi panitia penerimaan siswa baru.
"Saya minta ijazah aslinya, Bu."
Hatiku mencelos, aku ceroboh, karena aku ingat betul, ijazah asliku kutinggal di rumah kakekku. Sedangkan jarak dari sekolah itu ke rumah kakek tidak dekat. Dengan menggunakan angkot, dan angkot itu melaju dengan kecepatan kira-kira 60 km/jam, baru bisa sampai 30 menit. Tapi, masalahnya tidak semua angkot dapat melaju secepat itu, terlebih di hari Jumat muatan penumpang sangat jarang. Namun, tak patah arang ibuku langsung menyanggupi untuk mengambilnya ke rumah, dan aku ditinggal sendiri di sekolah itu.

Sambil menunggu, aku mencoba menatap sekeliling gedung sekolah. Lapangan sekolah memiliki rumput yang agak tinggi, tanpa pavingblock. Kelas-kelas tanpa lampu, tanpa kipas angin. Kurasakan hangat tetes airmata. Pertanyaan-pertanyaan yang tepatnya kutujukan pada diri sendiri, membuatku menangis.

"Di jakarta ikut ekskul apa?" Tiba-tiba ibu guru yang style jilbabnya berbeda itu menghampiriku.
"Basket dan Pencak silat." Jawabku sesingkat-singkatnya, karena jujur saja aku masih shock. Aku masih berusaha menerima keadaan bahwa aku harus melanjutkan sekolah di 'kampung'. Entahlah bagaimana ekspresi ibu guru itu, yang jelas dia langsung terdiam dan mengamati badanku.
"Pasti tidak percaya. Jelas saja tidak percaya, badanku pendek dan kurus seperti ini." Kataku dalam hati, namun, aku lebih memilih menunggu ibuku dalam kediaman sambil terus mengamati keadaan lingkungan sekolah, dan membuat kalimat penghiburan yang mempan di hatiku, agar aku dapat berterima bahwa aku memang harus sekolah di sini, sekolah 'kampung'.

****

"Kalau dipikir-pikir, lucu ya Mom..."
"Iya, itulah kuasa Allah. Padahal jarang Mom mau jadi panitia penerimaan siswa baru, entah apa yang menggerakkan Mom saat itu. Tapi, yang jelas semua itu sudah diatur dengan kerapihan rencana Allah yang luar biasa, kita harus bersyukur."

Ternyata sekolah ini, tempat kumenimba ilmu pengetahuan, tempat mommy mengajar, telah mengukir banyak pelajaran kehidupan. Telah membukukan banyak prestasi. Aku bersyukur saat itu diberi petunjuk untuk menuju ke sekolah ini. Aku bersyukur, saat itu aku digerakkan menuju sekolah ini. Tempat aku mendapat ketulusan cinta yang begitu besar. Tempat aku menjadi dewasa. Dan pada akhirnya, hanya selang beberapa bulan aku bersekolah, ternyata sekolahku itu terpilih sebagai sekolah model! Ya, dan saat itu, yang terpilih sebagai sekolah model secara nasional baru 6 sekolah. Aku sangat bersyukur, aku tidak salah pilih, aku sudah diberikan jalan yang terbaik.

Kenangan awal kedatanganku di SMAN 2 Pandeglang benar-benar tak bisa kulupa. Setiap detail yang kulakukan, aku mengingatnya. Luar biasa. Ternyata aku jatuh cinta pada Kampus Samakta, sebutan untuk SMAN 2 Pandeglang, jatuh cinta pada suasana sejuk Pandeglang, dan jatuh cinta pada Mommyku. Dan semuanya adalah rencana-Nya yang begitu indah. Padahal tak pernah terbersit sekalipun aku bisa dekat dengannya, seorang guru Bahasa Indonesia, yang waktu itu benar-benar sangat berperan agar aku dapat bersekolah di sana. Lobinya tak terpatahkan, 'aset' begitulah sebutan untukku saat dia memperjuangkan ke hadapan kepala sekolah.

****

...
"Juara II Olimpiade Fisika Tingkat Kabupaten Pandeglang Tahun 2005 adalah 'Atih' dari SMAN 4 Pandeglang."
Terasa dekapan Mommy saat pembacaan pengumuman, mungkin karena perubahan air mukaku, aku sudah tiada lagi harapan. Namun, tak disangka Mommy memberiku semangat yang luar biasa.
"Tenang, De juara I! Kan belum selesai pengumumannya."
Senyumnya tak pernah lepas tuk selalu semangatiku.
Pancaran yang keluar dari matanya seolah berkata, 'Kamu adalah pemenang di hatiku, Nak'.
"Juara I Olimpiade Fisika Tingkat Kabupaten Pandeglang Tahun 2005 adalah 'Dewi Muliyati' dari SMAN 2 Pandeglang."
Benar saja! Aku menangis haru. Aku maju tuk menerima penghargaan. Aku tak pernah menyangka aku bisa. Ya, aku bisa. Terimakasih Mommy, kau percaya aku bisa, dan aku bisa!

****

"Hmmm... Tidak apa kan, gugur di babak penyisihan?"
"Tidak apa-apa. Buat Mom, De luar biasa, lagipula De hanya kalah sedikit, yang diambil 25, dan De ada di urutan 36. Dan, ingat, pesertanya 150 siswa untuk kompetisi fisika."
Entahlah, mungkin itu kalimat penghiburan dari Mommy yang saat itu sedang menemaniku di Pestasains IPB Bogor. Harapanku untuk menang memang besar. Tapi, apa daya, mungkin aku kurang belajar. Selain itu, aku juga mungkin terlalu sibuk di organisasi karena menjabat sebagai Sekretaris Umum OSIS. Ya, aku ingat semua tentang organisasi. Bagaimana tidak, saat aku katakan aku hendak keluar dari organisasi, Mommy melarangku. Pesannya, kita sekolah memang untuk belajar, tapi kita juga perlu belajar hidup dalam organisasi. Dan tak disangka, pemungutan suara pemilihan kader OSIS satu sekolah, aku terpilih menjadi sekretaris utama, "De pasti bisa! Mommy akan selalu bantu!" Begitu kata-kata Mom saat pelantikan.

"Dan sebelum kita menyaksikan babak final Kompetisi Fisika Pestasains IPB Bogor dari kelima finalis kita, kita akan membahas sedikit tentang alat peraga."
Deg! Hatiku berdebar, rasanya lemas. Akankah kesempatan itu masih ada setelah aku gugur di babak penyisihan. Entahlah, yang jelas aku sangat berharap.
Kutatap Mommy. Seolah mengerti, dia tersenyum, matanya bercahaya, seolah berkata 'Siapkan mentalmu, Nak'.
"Makalah dengan judul 'Ketika Gelap Menerjang Pandeglang' dan karyanya berupa emergencylamp terpilih sebagai Hasta Karya Terbaik Kompetisi Fisika Pestasains IPB Bogor. Kepada Ananda Dewi Muliyati, dipersilakan maju untuk mempresentasikan hasil karyanya. Hadirin, mari kita sambut dengan tepuk tangan meriah."
Yeay! Aku berteriak dalam hati. Senang bukan main. Aku tersenyum pada Mommy, yang saat itu ternyata sudah tidak ada di sampingku, karena telah berpindah ke tempat agak ke tengah dan bersiap untuk memotretku. Ini adalah penampilan pertamaku di tingkat nasional. Kulihat kebanggaan dalam raut mukanya. Senyumnya mengisyaratkan 'Tak apa Nak, tak membawa pulang piala juara, tapi De tetap berprestasi dengan menerima penghargaan Hasta Karya Terbaik. Kita harus bersyukur atas prestasi apapun yang kita raih.'

****

"Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya juara III ditetapkan diraih oleh 'Niken' dari SMAN 1 Rangkasbitung."
Mendengar keputusan juri, terang saja aku lemas. Mengapa saat penilaian, mereka katakan aku adalah calon penulis baik-baik. Tapi, mengapa saat ternyata pengumuman, nilaiku sama dengan peserta lain, dan mengapa bukan aku yang terpilih! Aku rasanya hendak marah. Ya, mengapa pula sebegitu teganya. Aku menangis sepanjang jalan. Aku benar-benar tidak terima dengan keputusan juri di lomba menulis tentang perpustakaan tingkat provinsi Banten itu. Diam mewarnai perjalananku dan mommy dari kota Serang menuju Pandeglang. Ibaratnya, pulang dengan kekalahan.
Esok harinya, "De, selamat! De dapet juara III! Lomba menulis yang kemarin!"
"Kok, bisa?" Aku kebingungan.
Mommy langsung menunjukkan sms nya dengan salah satu juri. Kurang lebih isinya tentang pengajuan dua penghargaan untuk juara III. Aku tak percaya mommy lakukan itu selama perjalanan pulang kemarin. Aku terharu. Aku bahagia, mengetahui hal ini. Bahkan, dalam diam pun dia merasakan aku, dalam diam pun dia berusaha untuk selalu membuatku bahagia.

****

"Pokoknya, De gak mau tau, Mom harus ke Tangerang! Mom temenin De nyusun skripsi! De udah bener-bener bingung!"
"Iya, tenang dulu ya, mom gak bisa langsung pergi saja, mom kan harus mengurus semua kepentingan mengajar. Mom pasti temani De, bahkan sampai sidang, Mom pasti temani..."
Mendengar kalimatnya, begitu menyejukkan, begitu dalam terasa kasihnya, begitu besar sabarnya, menghadapiku yang sedang tak karuan ini. Masa-masa yang sangat sulit.
"Mom, ini kalimat yang benernya apa? Cepet!!!"
"Iya, De sms aja, nanti mom kirim, mom lagi ngajar di kelas, De..."
Dan telepon segera kuputus, dengan perasaan geram tentunya. Kesal, entah kepada siapa. Hancur rasanya hatiku jika terbayang kemungkinan aku gagal dalam sidang skripsi tanggal 23 Juli itu. Dan, mommy ku baru besok siang bisa datang ke Ciledug, rumahku. Dan, saat aku telepon, mengapa pula tidak dengan cepat menanggapiku! Ah, entahlah, aku menangis seorang diri di kamar.
"Mommy.... Maafin De,... De gak sadar. Maafin De,,,, Mommy.... Happy b'day."
Dan aku sudah benar-benar keterlaluan, pagi di tanggal 19 Juli, aku malah menelepon Mommy bukan tuk ucapkan selamat ulang tahun, malah marah-marah tidak jelas, sambil meminta mom untuk mengoreksi kalimat yang tertulis dalam skripsi. Oh..., sungguh keterlaluannya aku. Tapi, tiada sedikitpun marah Mom... Dia tetap sabar. Aku mengerti satu hal yang pasti. Dia amat mencintaiku...

****

"Mom! Cepetan deh! Ngebut dikit apa bawa mobilnya!"
"Iya, sabar De. Ini juga mom berusaha cepat, yang penting kan dosen De sudah berjanji."
"Duh, De bener-bener bingung deh, gimana kalo dosennya gak mau lengkapi validasi perangkat pembelajaran? Haduuuh!!! Stres tingkat tinggi! Mom tau kan, besok itu De ujian skripsi!"
"Iya, yang harus kita lakukan adalah berdoa. Memohon yang terbaik."
...
"Sekarang sudah malam, rumah kamu jauh, kan?"
"Iya Pak, tapi saya diantar mommy saya."
"Hah? Ya ampun, kamu itu sampe merepotkan orang tua, menyusun skripsi kamu juga!"
"Hehehe, takut Pak kalo di kampus sampai malam sendirian mah."
...
"Mommy...! Alhamdulillah, sekarang sudah lengkap validasinya! Alhamdulillah...."
"Alhamdulillah, mom ikut senang. Dari jauh, mom lihat muka De sumringah. lega rasanya lihat anak mom seperti itu."
Mobil sedan itu melaju dengan cepat menuju rumahku, aku bahagia malam itu. Aku ditemani mommyku. Aku merasa tidak sendiri. Ya, kini aku percaya, saat mommy katakan aku bisa, maka aku bisa!

****

"Ya, selanjutnya!" Dosen yang menjabat sebagai ketua jurusan mempersilakan giliranku, sidang skripsi! Aku telah mempersiapkan semuanya, bahkan aku sempatkan untuk memeriksa koneksi kabel proyektor dan laptopku. Ketika kulihat, ternyata mommy melangkah keluar ruang sidang yang bersifat terbuka dan dihadiri oleh banyak mahasiswa juga, peserta sidang, adik tingkat, dosen-dosen, dan mommyku, tentunya. Aku mengerti. Mommy tak tega melihat anaknya 'dibantai', mungkin. Entahlah. Tapi, aku yakin, aku bisa melewati hari itu. Benar saja, aku mengalami sidang terlama dari 7 peserta sidang hari itu.
"Tadi, kenapa keluar ruangan, mom?"
"Mom gak tega lihat De sendiri di sana, diserang dengan banyak pertanyaan. Lama pula. Tapi, mom bangga, karena walaupun di luar ruangan, suara De terdengar jelas, terdengar tegar. Padahal mom kira suara De akan tidak terdengar"
"Itu karena ada mom. Ya, mom itu kekuatan buat De. Mom yang membuat kelabu itu menjadi lebih berwarna. Terimakasih atas semuanya."

Saat itu, aku sudah tak pedulikan lagi, apapun tanggapan orang. Terserah mereka, mereka boleh mengatakan aku adalah anak termanja. Atau aku yang 'lebay'. Terserah. Yang penting, aku bisa melewati sidang dan aku lulus. Toh, mommy datang untukku, bukan untuk mereka. Mommy terlihat puas. Aku lega sekali rasanya. Sepanjang perjalanan pulang aku tertidur di mobil. Ya, lelah sepertinya, lelah yang teriring dengan bahagia, dan kebanggaan mommy untukku tentunya.
Mommy, you give color to my soul...

****

"Dewi Muliyati dari Pendidikan Fisika FMIPA..."
Aku langkahkan kaki tuk ke depan. Saat itu perasaanku bercampur aduk. Di depan, ku berdiri di hadapan ribuan orang. Ribuan mata menatapku dan lulusan terbaik lainnya saat wisuda 24 September itu. Hari yang begitu bersejarah buatku. Sambil menunggu persiapan rektor, pembantu rektor, dekan, dan guru besar untuk memberi ucapan selamat, sesekali aku menatap jauh ke bagian undangan VIP B. Ya, di sana ada mommy. Aku berusaha menampilkan senyum terindah saat itu. Senyum yang membuatnya bangga. Karena kuyakin, iya sedang menyaksikan aku menerima penghargaan dengan bangganya.

****

Dua bulan berlalu sejak wisuda di gedung GSG UNJ. Kerinduanku kepada mommy amat besar. Apalagi sekarang, waktu luang untuk ke Pandeglang sangatlah sedikit. Aku seperti dijerat kesibukan. Aku juga rasakan rindu mommy padaku. Tapi, aku harus bertahan untuk meneruskan perjuangan, sebuah babak baru dalam kehidupanku yang sesungguhnya. Dunia kerja. Aku akan membuat mommy lebih bangga. Ya, itu janjiku. Aku sayang mommy.

Tulisan ini sebagai ungkapan kerinduanku. Ungkapan maafku, atas ketidakmampuanku melawan semua kesibukanku. Ada saatnya aku akan menghadirkan kebanggaan yang teramat untukmu, mommyku sayang.***

Without you, Mom, I would be lost...
Mom's Love can do anything that impossible...

2 komentar:

  1. hhmmh...kubaca, kurasa,kubayangkan, kukenang... buram, remang-remang tulisan samar...air mata ya...air mata bahagia, rindu...mommy sayang de

    BalasHapus
  2. your mommy is the best.
    tak dapat terlukiskan kasih sayang beliau untukmu, sepanjang masa tak akan pernah sirna.

    BalasHapus