Labels

daniera (118) kanazawa (7) nada (92) pengetahuan umum (6) profesi guru (1) puisi (16) skripsi (1)

Rabu, 30 November 2011

Hujan Deras, Panas Mentari, dan Rangginang

"Rabb-ku yang maha baik, berikanlah panas mentari seusai hujan ini, jangan biarkan 500 ranginang mamaku gagal produksi. Amin."

Hari itu, pagi yang mendung. Namun, mamaku dengan semangatnya, mengatakan "nanti akan panas". Ya, aku berharap yang sama tentunya. Pasalnya, mamaku telah selesai membentuk ratusan bulatan ranginang. Dalam 10 tampah siap dijemur. Tak terbayang olehku, bagaimana jadinya jika tak ada panas mentari hari itu.

Namun, alam berkehendak lain. Mendung itu berkelanjutan hujan deras. Ya, sangat deras malah. Aku merasa agak menggigil saat itu. Tapi, aku tentu tidak membiarkan mama memindahkan kesepuluh tampah itu sendirian diiringi derai hujan yang amat derasnya. 

Sudah seminggu yang lalu, mama meminta izin agar hari itu, ia dapat mengikuti kegiatan pengajian kompleks. Mama bercerita dengan antusiasnya. Tak mungkin aku melarangnya. Saat itu di rumah memang hanya ada aku dan mama. Sekitar pukul 10, mama dijemput temannya. Mama hanya berpesan, "hati-hati di rumah, dan jika hujannya berhenti, tampahnya dikeluarkan lagi." Aku menjawabnya dengan senyum pasti. 

Ya, yang aku lakukan saat sendiri itu adalah berdoa. Berdoa agar Rabb ku berkenan memberikan panas mentari seusai hujan deras ini. Tak mungkin kumeminta untuk menghentikan hujan itu, karena hujan adalah bentuk rahmat-Nya. Tapi aku juga amat mencintai mama. Tak mungkin aku biarkan peluhnya tersia karena ranginangnya yang gagal produksi.

Dan aku rasa Rabb ku yang maha pemurah itu, telah mengabulkan doaku. Sekitar pukul 11 panas mentari mulai menyinari, dan derasnya hujan berganti rintikan kecil yang sebentar lagi akan tiada. Aku bersiap. Kurapikan bangku-bangku untuk menyusunnya di halaman rumah. Kususun semua tampah itu dengan sedemikian rupa dengan harapan semuanya mendapatkan sinar mentari yang cukup. Hhhh... Sedikit lega  perasaanku. Aku kembali ke kamarku di lantai atas. Aku kembali menekuni pekerjaanku yang belum terselesaikan. Terduduk di depan laptop selama satu jam, aku terkaget ketika mendengar suara air hujan seperti menderu. Aku terlompat, dengan tergesa-gesa segera berlari menyusuri anak tangga. Dengan secepatnya, menuju halaman rumah, jangan sampai hujan itu benar-benar membasahi semua tampah yang berisi ranginang penuh. Aku kembali menyimpannya ke dalam rumah. Kemudian sambil menunggu, aku berdoa, Dia pasti akan memberikan yang terbaik untukku, yang di hari itu mendapatkan tugas dari mama. Ternyata hujan itu hanya sekitar 30 menit. Dan mentari kembali terasa hangatnya. Kembali, aku menyusun rapi semua tampah itu di halaman rumah. Ohh, betapa lelahnya. Lelah raga tiada berarti bagiku, lelah pikiran yang ternyata amat menyiksa. Butuh kesabaran untuk hal sederhana menjemur ranginang. Dan itu dilakukan sempurna oleh mamaku selama ini. Luar biasa. Dan hal terbaik dari-Nya yang kudapat, adalah aku mengerti tentang arti sebuah perjuangan.

****

Masih ingat saat aku meminta mama berhenti menjalankan usaha garment. Aku katakan, mama lebih banyak membutuhkan waktu untuk istirahat, sedangkan usaha itu sangatlah lelah, menyita waktu dan tenaga. Dan aku sangat tidak rela melihat mama yang kelelahan. 

Aku tidak menyangka ternyata mama sakit, setelah seminggu berhenti melakukan aktivitasnya yang super sibuk. Dan keadaan ini lebih membuat hatiku ngilu. Aku mengetahui sesuatu. Salah satu passion nya selain garment adalah membuat ranginang. Sudah terbukti, dulu, saat aku masih di tahun pertama kuliah, banyak tetangga yang pesan, bahkan untuk dikirim ke luar kota. Aku mengapresiasinya. Bagiku, mamaku adalah wanita jenius, yang tak bisa betah dalam diam. Satu kompleks Perdagangan saja, kenal dengan mama, tapi sepertinya hanya segelintir saja yang kenali aku. Sungguh tragis. Ya, aku tak pandai bergaul mungkin. Entah karena trauma akan banyak kejadian di hidupku, atau karena memang aku berkarakter pemalu. Yang jelas, mamaku sangat cepat tenar. Pandai bergaul. Dan sebenarnya banyak hal yang aku dapatkan darinya tentang hidup. Ya, dari mulai hal kecil, menanam tanaman cabai saja, ia dapat dengan cepat beramah tamah kepada para tetangga. Banyak tetangga yang memuji cabai hasil tanam mamaku. Ya, aku pun kaget mengamati bahwa cabai yang dihasilkan begitu berisi, padat, dan mulus. Mungkin karena mama menanamnya dengan keceriaan, dengan penuh harapan, dengan pesan kehidupan. Bagiku, mama adalah wanita jenius yang luar biasa.

Saat aku mengusulkan migrasi usaha ke ranginang, bukan main senangnya tanggapan mama. Ia kemudian menyediakan waktu satu hari untuk berbelanja peralatan. Membeli tampah baru, kemudian menceritakannya padaku dengan riang gembira. Aku terenyuh. Belum pernah, ya, belum pernah sejak kejadian 10 tahun lalu, mama memancarkan aura bahagianya. Ya, aku menangis haru dalam hati. Aku bahagia tentu, karena kupikir mama telah memiliki fasilitas untuk menjalankan passion yang lain, tanpa perlu lelah berlebih. Tanpa perlu sakit karena terdiam. 

Namun, hari itu, saat aku diberikan kepercayaan untuk menjemur ranginang, aku mengerti. Betapa berjiwa besarnya mama, saat mengatakan kepadaku ada sekitar 50 ranginangnya dibuang, karena terendam air. Saat itu, aku menanggapinya dengan simpati yang ala kadarnya. Namun kini, aku menangis, begitu menegangkannya memproduksi ranginang di bulan penghujan ini, di saat pesanan semakin bertambah. Di saat relasi semakin banyak. Aku, yang telah merasakannya langsung bagaimana perjuangan itu, sangat tersentuh. 
Kebahagiaan saat giat bekerja. Ya, kebahagiaan yang ia pancarkan. Tiada pernah mengeluh. Aku merasakannya.

Bagiku, mama adalah perempuan yang luar biasa. Dan banyak hal yang kumiliki padahal ia selalu mencontohkannya. Tapi, tak pernah ada kecewanya padaku. Ia selalu ketakan bangganya memilikiku kepada semua orang. Aku sayang mama. Setiap jerihnya adalah kekuatanku untuk bangkit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar