Tidak
seperti biasanya, sore ini aku mengemudikan mobil dengan ugal-ugalan.
Kubunyikan klakson hampir pada setiap kendaraan yang ada di depanku. Tak peduli
pada klakson balasan dari pengemudi lain yang aku dahului, pun pada banyak
pengendara motor yang mengomel karena kaget dan risih dengan ulahku. Tujuanku
satu, tiba secepatnya di RS Sari Asih Ciledug. Nama rumah sakit itu jelas terbaca
pada pesan yang akhirnya terbalaskan setelah aku gelisah sepanjang hari ini.
****
Tempat
bimbingan belajar ini masih sama seperti saat pertama kukenalkan kamu pada
mereka, sebagai kakakku tentunya. Selalu ada tawa riang siswa yang akhirnya
berhasil menyelesaikan tugas dari sekolah mereka, juga selalu ada canda dari
staf dan pengajar lainnya. Namun, hari ini terasa berbeda. Setelah selesai
mengajar, aku duduk-duduk dan membaca buku di ruang tunggu dekat receptionist, sambil sekali-kali melirik
ponsel, menunggu pesan balasan darimu, yang sebelumnya memperkirakan akan tiba
pukul 5 sore. Sampai satu jam berlalu dari pukul 5, semua siswa, pengajar, dan
staf telah pulang, kecuali satu orang staf yang mendapat tugas piket sampai
malam. Hari ini jadwal belajar memang hanya sampai pukul 5. Cahaya matahari
sore pun berlalu dan berangsur mulai menyisipkan gelap.
“5
menit lagi, jalan macet, sabar ya. Kamu masih di Ganesha, kan?” Akhirnya kamu
mengirim pesan.
“Iya,
gak apa-apa, kak, aku masih di sini kok nunggu kakak.” Aku balas cepat.
Aku
simpan buku yang sejak sore kubaca, sekarang aku hanya menoleh ke arah jendela
luar, hanya ingin menunggu kamu. Mataku hanya terfokus pada pintu gerbang
masuk, sampai akhirnya ada sorot lampu motor. Ah! pasti itu kamu. Aku tersenyum.
Akhirnya aku bisa bersama kamu, berdua, bersama, setelah tiga bulan aku
melewatkan dan menelantarkanmu. Begitulah ‘istilah’ yang kamu tudingkan padaku.
Padahal aku hanya tidak ingin membuatmu khawatir pada skripsiku, dan aku tahu
kesibukanmu melanjutkan studi di Bandung, juga sekedar ingin menyelesaikan
tugas akhirku sendiri, karena kuyakin kamu membantuku di setiap doamu.
“Maaf, Kakak lupa, Jakarta sore
hari itu macetnya luar biasa.”
“Iya,
gak apa-apa. Kita main ke sebelah aja yuk, Kak?”
“Oh,
boleh. Iya, jangan jauh-jauh, supaya waktu sama kamunya agak lama, hehe.”
Seperti
biasa, matamu selalu berbinar saat bertemu. Tapi ada yang berbeda, tiga bulan
tak berjumpa sepertinya kamu lebih gemuk, terlihat dari pipi kamu. Kamu
mengenakan kaos abu-abu lengan panjang, berjaket jeans, tampilan sederhana yang menjadi ciri khas. Jika dilihat dari
belakang, pasti tidak akan ada yang menyangka itu adalah kamu, kakakku, teman
bermain, sahabatku.
“Mas
Andi! Kenalkan ini teman aku, sekalian aku mau pamit pulang. Terima kasih ya.”
Setelah
selesai berpamitan dengan staf yang kebagian tugas piket, aku bersegera
memakirkan motor ke mall yang yang
dekat dengan tempat bimbel ini, bersamamu.
“Kita
minum coklat aja yuk, Kak?”
“Iya,
kebetulan Kakak juga mau makan donut.”
Sepanjang
jalan menuju kafe kugenggam tanganmu. Dingin, ya, dari dulu seperti itu. Kamu
tidak kuat dingin.
Kamu
tersenyum. Sambil menikmati coklat panas, matamu seperti sedang menimbang sesuatu
yang akan dikatakan. Wajahmu terlihat semakin bersih. Tapi, agak pucat
menurutku, mungkin pengaruh suasana malam dan dinginnya AC kafe. Aku menunggumu
saja yang memulai bercerita.
“Kakak
sayang, sayang banget. Kakak kangen, de.” Akhirnya kamu berkata.
“Aku
udah tau, Kak, hehe.”
Sudah
dapat kutebak, pasti kamu akan katakan kalimat itu. Seberapapun sering aku
katakan sudah mengetahuinya, kamu tidak peduli, lalu kamu akan jawab sama
seperti yang sudah kutahu pula. Dan merupakan jawaban yang manis, menurutku.
Aku tahu makna
lebih berarti dari sekedar kata. Tapi jika kata dapat tumbuhkan makna dan
perdalam rasa, maka aku akan katakannya sesering mungkin.
“Memangnya
kamu nggak mau bilang sesuatu?”
“Sesuatu?
Sesuatu apa? Memang Kakak mau aku bilang apa?”
“Ya...
Kalimat yang sama, minimal.”
“Sekarang?”
“Ya.
Sekarang. Sebelum nantinya menyesal.”
“Menyesal?
Kenapa mesti ada penyesalan?”
“Entahlah.
Setidaknya Sebelum Kakak pergi.” Kemudian bibirmu menyunggingkan senyum tajam.
“Pergi?
Pergi ke mana?” Aku mulai tak sabar.
“Ya...
Pergi jauh, hehe.” Kali ini kamu nyengir.
“Maksudnya?
Jepangkah?” Aku benar-benar sudah tak sabar, apalagi melihat ekspresi mukamu
yang jahil, melihatku bingung.
“Ya.
Kakak lulus tes. Bulan depan berangkat.”
“Ah!
Selamat ya, Kakak!”
Aku
menghambur untuk memeluknya. Antara bahagia dan sedih tuk melepasnya. Di antara
pelukan itu, aku bisikan padanya.
“Aku
sayang Kakak. Kakak itu sahabat aku dan saudara aku, tentunya. Aku sayang
Kakak.”
Kemudian
kulihat keningmu sedikit berkerut,
“Kenapa?”
“Bangetnya, mana?”
Ah!
Aku pikir kamu kenapa.
“Aku
sayang Kakak, pake banget.”
Kemudian
kamu dan aku tertawa bersama. Meluncur begitu saja cerita-ceritamu tentang
proses seleksi administratif, kekesalanmu saat mengurus translasi ijazah,
kemudian ketegangan saat memilih supervisor, melihat soal ujian, kebingunganmu
pada saat wawancara, sampai pada pengumuman hasil tes. Sejujurnya aku bangga memilikimu,
setidaknya sampai saat ini aku merasa memiliki hatimu. Dan semoga sampai nanti
aku masih memiliki hatimu.
Setelah
ceritamu tentang tes itu, kamu menunjukkan video. Video itu sesungguhnya
terdiri dari banyak foto, seperti tampilan flash
foto-foto, kamu bilang kamu yang mengeditnya, dengan memberikan narasi di
setiap foto. Aku melihatnya. Aku melihat video itu. Ternyata isinya foto kamu,
fotoku, foto kita, di saat-saat kuliah beberapa semester lalu. Melihat itu,
kita tertawa bersama mengenang masa-masa saat aku yakin aku tidak akan pernah
sendiri. Keyakinan itu datang karena hadirmu, tentu.
Tapi
kebersamaan itu berubah. Menurutmu, akulah penyebabnya. Aku terlalu sering
melewatkanmu. Sampai kemudian kamu katakan kamu sudah berjanji pada dirimu
sendiri untuk tidak menghubungiku duluan, sebelum aku yang menyapamu. Sebegitunyakah
aku berubah? Entahlah. Yang jelas aku masih menyayangi kamu, sebagai sahabat
dan saudaraku.
Di
tengah-tengah video itu ternyata kamu menyelipkan foto-foto saat kita bersepeda
bersama, kehujanan bareng, dan lagu ‘Aku Suka Caramu’. Kemudian kita, entah
siapa yang memulai, seolah-olah sedang memuat videoclip lagu itu. Tak peduli pengunjung kafe yang lain melihat
atau tidak. Yang jelas aku suka itu. Di akhir putaran lagu, kita melakukan
gerakan yang sama. Gerakan tangan layaknya saling menembak dengan dua pistol,
namun pistol dilambangkan dengan jari telunjuk dan jempol. Begitu hangatnya
kebersamaan kita saat itu.
Ternyata
waktu terasa begitu cepat berlalu saat bersamamu. Kusadari malam dari bibirmu
yang mulai bergetar kedinginan. Wajahmu tambah pucat. Aku putuskan untuk
bersegera pulang. Sebelum berpisah, di parkiran motor itu, kamu memelukku,
lebih erat dari biasanya. Sejak saat itu aku berjanji akan berusaha untuk
memulai komunikasi lebih dulu, aku akan berusaha menyapamu terlebih dahulu.
****
“Aku ganti foto profil di facebook pake foto kita, ya
Kak.”
Pesanku malam itu saat hendak beranjak tidur tak
dibalas olehmu.
“Kak? Apa kabar pagi ini? J Love you...”
Pesanku pagi ini juga tak dibalas, mungkin kamu masih
tidur. Tapi entah kenapa pagi ini, pikiranku penuh olehmu. Jangan-jangan aku
baru sadar, aku juga sangat menyayangimu. Atau aku baru sadar, seharusnya
semalam aku memelukmu lebih lama, sebelum kamu pergi jauh, melanjutkan studi di
negeri Sakura.
“Dewi di RS Sari Asih di Ciledug. Tadi pagi jatuh. (Lisa,
kakaknya).” Akhirnya ada pesan masuk dari nomor ponselmu.
Tanpa pikir
panjang, aku ambil kunci mobil, bergegas pergi. Semua ingatanku tentang kamu,
tentang semalam, tentang pembicaraan kita yang begitu hangat, tentang masa-masa
itu, tentang kamu sekarang, di rumah sakit, semua bercampur. Pikiran-pikiran
itu, kenangan-kenangan itu, mampu buat air mataku tak hentinya mengalir selama
perjalanan ke rumah sakit.
****
Dalam
ruangan itu, kamu terbaring, banyak perban membungkus kepalamu. Matamu
terpejam. Mendesir kengerian dalam pikirku. Aku sentuh tanganmu. Aku genggam
lembut, Kusentuh pipimu, aku akan mengatakannya, sebelum aku menyesal, begitu,
kan, katamu? Begitu kan, inginmu? Mengapa kamu dapat berkata tentang
penyesalan, semalam? Mengapa? Air mataku mengalir begitu saja. Aku, ya, aku
yang merasa memilikimu.
“Aku
sayang banget sama Kak Dewi.” Bisikku sesungguhnya tak lebih dari harapan kamu
dapat dengarkan aku. Kamu pernah bilang kita adalah saudara sejiwa, kan? Kita
pernah bicara tanpa kata, kan? Di lorong sepi, di lorong sepi kita bertemu.
Kamu tidak akan pernah berhenti mencintaiku, kan?
Masih
kugenggam jemarimu, rasanya dingin menyekat.
“Aku
suka caramu, mencintaiku... Aku suka caramu, buatku tersenyum... Aku suka semua
tentangmu...” Bahkan aku sendiri tak dapat dengar suaraku, di tengah isakku. Lagu
itu... Kamu ikut bernyanyi denganku, kan?
Jemarimu
tergerak, seperti membalas genggamku. Tanganku merasakan suatu yang hangat
mengalir di pipimu, air matamu. Sebelum akhirnya aku harus keluar dari ruangan
itu.
****
Aku
tak percaya. Semalam kamu masih bersamaku. Semalam kita masih bermain telunjuk
jempol bersama. Kamu bilang kamu akan melanjutkan studi di negeri Sakura, kan? Kamu
bilang akan menungguku di sana? Kamu bilang, kamu cuma pergi sebentar, kan? Atau
aku yang salah mendengar.
Maafkan
aku melewatkanmu. Terlalu banyak kesempatan bersamamu yang kuabaikan. Jika saja
aku tahu kamu akan pergi, tidak untuk setahun, tapi untuk selamanya, aku tentu
akan katakan keras-keras, bahwa aku juga sangat menyeyangimu. Kamu adalah
sahabat terbaikku. Kamu adalah kakak yang luar biasa bagiku. Kamu akan tetap
menjadi bagian yang terbaik di hati ini.***